Bolehkah Mendoakan Nonmuslim yang Meninggal Dunia? Simak Pandangan Ulama

1 month ago 16

Liputan6.com, Jakarta - Ada dua kiamat yang dikenal dalam eskatologi Islam, yakni kiamat kubra dan sughra. Kubra adalah hari di mana dunia seisinya berakhir dengan datangnya hari akhir atau kiamat. Sementara, kiamat sughra adalah kiamat kecil kematian yang terjadi pada makhluk, baik individu maupun sekelompok.

Bagi seorang muslim, seseorang yang mendengar kabar meninggalnya seseorang dianjurkan untuk membaca istirja, selanjutnya memanjatkan doa untuk orang yang meninggal tersebut.

Nah, bagaimana jika yang meninggal adalah nonmuslim, bolehkah seorang muslim mendoakan nonmuslim yang meninggal?

Sementara, dia misalnya adalah seseorang yang baik semasa hidupnya. Atau bisa jadi dia adalah seorang tokoh yang banyak berjasa untuk negara. Atau misalnya, sahabat dekat.

Contoh terbaru adalah Kwik Kian Gie yang meninggal pada Senin (28/7/2025). Kabar Kwik Kian Gie meninggal salah satunya diisyaratkan oleh Sandiaga Uno dalam unggahannya.

"Selamat jalan, Pak Kwik Kian Gie. Ekonom, pendidik, nasionalis sejati,".

"Mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran. Yang berdiri tegak di tengah badai, demi kepentingan rakyat dan negeri. Indonesia berduka," ucap Sandiaga Uno, dilansir kanal News Liputan6.com.

Dalam ulasan profilnya, jarang disebut agama Kwik Kian Gie. Namun, dari berbagai sumber terpercaya, Kwik Kian Gie memang bukan seorang muslim. Dia lahir di Juwana, Pati 90 tahun silam.

Terkait hukum Islam mengenai boleh dan tidaknya seorang muslim mendoakan jenazah nonmuslim, mari simak ulasan Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo, Jawa Tengah, seperti dikutip dari situs NU Banten, Selasa (29/7/2025).

Simak Video Pilihan Ini:

Puting Beliung Memporakporandakan Rawa Cilacap

Hukum Mendoakan Nonmuslim yang Meninggal Dunia

Pembahasan tentang hukum mendoakan non-Muslim yang sudah meninggal banyak ditemukan di kitab-kitab fikih pada bab pemulasaraan jenazah. Dalam hal ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa mendoakan non-Muslim yang sudah meninggal hukumnya haram, sebagaimana disampaikan oleh Imam An-Nawawi (w. 676 H) dan Imam Ar-Ramli (w. 1004 H), berikut ini:

وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى الْكَافِرِ وَالدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ فَحَرَامٌ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَالْإِجْمَاعِ

Artinya: "Adapun menshalati orang kafir dan mendoakannya agar mendapat ampunan, hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur'an dan ijma' (konsensus ulama)." (Imam An-Nawawi, Al-Majmu' [Beirut: Darul Fikr, tt] juz V, halaman 258).

وَتَحْرُمُ) الصَّلَاةُ (عَلَى الْكَافِرِ) وَلَوْ ذِمِّيًّا لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا} [التوبة: ٨٤] ؛ وَلِأَنَّ الْكَافِرَ لَا يَجُوزُ الدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ} [النساء: ٤٨

Artinya: "Haram hukumnya menshalati non-Muslim meskipun berstatus dzimmi karena firman Allah: Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka (At-Taubah: 84). Dan dikarenakan tidak boleh mendoakan non-Muslim untuk mendapatkan ampunan karena firman Allah: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (An-Nisa': 48)." (Imam Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz II, halaman 493).

Imam Al-Bukhari menceritakan sebuah kisah. Menjelang Abu Thalib wafat, Rasulullah saw mendampinginya dan memintanya agar mengucap syahadat, namun di tempat itu hadir pula Abu Jahl. Ia meyakinkan Abu Thalib agar tidak mengucap syahadat. Abu Thalib pun wafat tanpa mengucap syahadat. Rasulullah saw bersabda:

أَمَا وَاللهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ. فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِيهِ: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ﴾ الْآيَةَ

Artinya: "Demi Allah sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu selagi aku tidak dilarang. Lalu Allah menurunkan ayat 113 Surah At-Taubah." (Shahihul Bukhari [Beirut: Dar Thuqin Najah, 2001], juz II, halaman 95).

Berikut ini ayat yang dimaksud dalam hadits tersebut:

مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ

Artinya: "Tidak ada hak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun mereka ini kerabat(-nya), setelah jelas baginya bahwa sesungguhnya mereka adalah penghuni (neraka) Jahim."

Pandangan Ulama Lain

Namun, beberapa ulama berpandangan lain. Larangan memintakan ampunan bagi non-Muslim hanya berlaku pada dosa kekufuran. Artinya, kita boleh memintakan ampunan bagi non-Muslim untuk dosa-dosa selain dosa kekufurannya. Syekh Ahmad Al-Qalyubi (w. 1068 H) mengatakan:

وَيَجُوزُ الدُّعَاءُ لَهُ وَلَوْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ، خِلَافًا لِمَا فِي الْأَذْكَارِ إلَّا مَغْفِرَةَ ذَنْبِ الْكُفْرِ مَعَ مَوْتِهِ عَلَى الْكُفْرِ فَلَا يَجُوزُ

Artinya: "Boleh mendoakan non-Muslim meskipun dengan doa memintakan ampunan dan rahmat. Pendapat ini berbeda dengan yang disampaikan Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar. Kecuali memintakan ampunan atas dosa kekufuran bagi orang yang meninggal dalam keadaan kufur, maka tidak boleh." (Syekh Ahmad Al-Qalyubi, Hasyiyah Qulyubi 'alal Mahalli [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz I, halaman 367).

Senada dengan Al-Qalyubi, Syekh 'Ali Syabromallisi (w. 1087 H) memberi anotasi atas apa yang disampaikan Ar-Ramli sebelumnya:

الْآيَةَ إنَّمَا تَدُلُّ عَلَى مَعْنَى مَغْفِرَةِ الشِّرْكِ، وَرُبَّمَا تَدُلُّ عَلَى مِغْفَرِة غَيْرِهِ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ [النساء: ٤٨] وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الدُّعَاءِ لَهُ بِمَغْفِرَةِ غَيْرِ الشِّرْكِ

Artinya: "Surat An-Nisa ayat 48 hanya menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan bisa saja berarti bahwa dosa selain syirik bisa diampuni karena di akhir tersebut ayat Allah berfirman: Dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapapun yang Ia kehendaki (An-Nisa: 48). Hal tersebut menunjukkan bolehnya mendoakan non-muslim untuk mendapatkan ampunan dosa selain dosa syirik." (Syekh 'Ali Syabromallisi, Hasyiyah Syabromallisi [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz II, halaman 493).

Pernyataan-pernyataan senada juga diungkapkan oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal (w. 1204 H) Dalam Kitab Hasyiyatul Jamal 'alal Manhaj (Beirut: Darul Fikr, t.t/III:382), Syekh Sulaiman Al-Bujairimi (w. 1221 H) dalam Kitab Hasyiyatul Bujairimi 'alal Khathib [Beirut: Darul Fikr, 1995/III:117), dan Syekh Abdul Hamid Asy-Syarwani (w. 1301 H) dalam Kitab Hasyiyah Syarwani [Beirut: Dar Ihya'it Turatsil 'Araby, 1983/V:255). Beliau bertiga menukil keterangan yang sama, yaitu:

وَبَقِيَ مَا لَوْ اغْتَابَ ذِمِّيًّا فَهَلْ يَسُوغُ الدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ لِيَتَخَلَّصَ هُوَ مِنْ إثْمِ الْغِيبَةِ أَوْ لَا وَيَكْتَفِي بِالنَّدَمِ لِامْتِنَاعِ الدُّعَاءِ بِالْمَغْفِرَةِ لِلْكَافِرِ كُلٌّ مُحْتَمَلٌ وَالْأَقْرَبُ أَنْ يَدْعُوَ لَهُ بِمَغْفِرَةِ غَيْرِ الشِّرْكِ أَوْ كَثْرَةِ الْمَالِ وَنَحْوِهِ مَعَ النَّدَمِ

Artinya: "Jika seorang Muslim menggunjing (ghibah) non-Muslim dzimmi (yang tidak memusuhi umat Islam), apakah ia boleh memintakan ampunan untuk non-Muslim tersebut agar ia terbebas dari dosa menggunjing? atau taubatnya cukup dengan merasa menyesal, karena terdapat larangan memintakan ampunan bagi non-Muslim?. Keduanya memiliki kemungkinan benar. Yang paling mendekati benar adalah yang pertama, ia memintakan ampunan untuk dosa selain syirik atau mendoakannya berlimpah harta, disertai penyesalan atas tindakannya (ghibah) tersebut."

Kesimpulan

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat dalam masalah boleh dan tidaknya mendoakan non-Muslim dengan memintakan ampunan. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh, namun beberapa ulama berpendapat boleh memintakan ampunan baginya untuk selain dosa kufur. Wallahu a'lam.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |