Liputan6.com, Jakarta - Badan Wakaf Indonesia (BWI) terus mendorong penguatan literasi dan pengelolaan wakaf produktif melalui program Waqf Goes to Campus (WGTC) untuk mengoptimalkan potensi wakaf nasional yang mencapai Rp180 triliun.
Kegiatan WGTC ke-15 ini digelar di Universitas Brawijaya (UB), Malang, pada Senin (20/10/2025), mengusung tema “Mendorong Dana Abadi Melalui Wakaf Berbasis Kampus.” Kampus dan pesantren dinilai sebagai mitra strategis dalam membangun gerakan wakaf produktif sebagai pilar ketahanan ekonomi nasional sekaligus menjawab tantangan regulasi, literasi, dan kompetensi nazhir.
Wakil Ketua BWI, Tatang Astaruddin, mengatakan bahwa kampus merupakan lembaga yang secara nilai sejatinya dekat dengan konsep wakaf. “Kampus dan pesantren sejatinya adalah lembaga wakaf. Ketika didirikan untuk kepentingan umum dan waktu yang tidak terbatas, itu sejatinya adalah wakaf,” ujarnya.
Menurut Tatang, BWI telah memiliki peta jalan wakaf nasional dengan visi menjadikan wakaf sebagai pilar pertumbuhan dan ketahanan ekonomi bangsa. “Hari ini kami punya roadmap wakaf. Visi kami, wakaf adalah pilar pertumbuhan dan ketahanan ekonomi nasional,” katanya.
Dorong Pembaruan Regulasi dan Literasi Wakaf
Tatang menjelaskan, salah satu tantangan utama dunia perwakafan saat ini adalah regulasi yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, BWI menggandeng kampus-kampus untuk mengkaji ulang dasar hukum wakaf agar dapat menjawab tantangan ekonomi modern.
“Kajian tentang wakaf yang paling mampu melakukannya adalah kampus-kampus. Maka kampus bisa bersama BWI mengkaji regulasi yang menjadi landasan penting pengembangan wakaf ke depan,” ujarnya.
Selain regulasi, tantangan lain adalah minimnya literasi masyarakat terkait makna wakaf produktif. Banyak masyarakat masih memahami wakaf sebatas pembangunan tempat ibadah.
“Dalam undang-undang wakaf hari ini ada perubahan mendasar. Wakaf sudah inklusif, makna ibadahnya bukan hanya mahdhah, tapi juga kesejahteraan umum. Wakaf untuk pendidikan, kelestarian lingkungan, konservasi, hingga agenda SDGs sejatinya adalah misi perwakafan,” jelas Tatang.
Zakat dan sedekah adalam amalan yang dianjurkan. Namun keduanya punya pengertian yang berbeda.
Tantangan Kompetensi Nazhir
BWI juga menyoroti rendahnya kompetensi pengelola wakaf (nazhir) sebagai faktor yang menghambat akselerasi perwakafan nasional. Saat ini, terdapat sekitar 450.000 nazhir wakaf tanah dan 500 nazhir wakaf uang, namun banyak di antaranya belum memiliki kompetensi manajerial dan finansial yang memadai.
“Tanpa mengurangi rasa hormat, perlu kami sampaikan bahwa kompetensi nazhir masih kurang maksimal. Untuk itu, mitra paling strategis dalam peningkatan kompetensi adalah kampus,” ujarnya.
Tatang menilai kampus memiliki keunggulan karena dihuni kalangan terdidik, melek teknologi, dan memiliki kesadaran sosial serta keagamaan yang tinggi. “Ketika bergandengan dengan kampus, BWI yakin misi dan visi gerakan wakaf akan lebih mudah dicapai,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Tatang juga mengingatkan kembali pentingnya Gerakan Indonesia Berwakaf — sebuah gerakan nasional yang diharapkan menjadi gerakan masif dan ideologis dalam menghidupkan potensi wakaf di berbagai sektor.
“Potensi wakaf uang kita mencapai Rp180 triliun, dan dari 17 klaster yang kami kaji, kampus memiliki potensi wakaf uang sebesar Rp5,7 triliun,” ungkap Tatang.
Ia menegaskan bahwa gerakan ini penting untuk menjawab berbagai agenda kebangsaan dan kemanusiaan. “BWI meyakini wakaf adalah solusi kemanusiaan sekaligus solusi kebangsaan,” tandasnya.
Wakaf untuk Pendidikan dan Kemandirian Kampus
Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, yang turut hadir dalam kegiatan itu, menilai wakaf bukan sekadar kegiatan memberi, melainkan instrumen strategis untuk menciptakan manfaat berkelanjutan, terutama di sektor pendidikan.
“Dalam konteks pendidikan, wakaf dapat membuka peluang membangun dana abadi untuk beasiswa, pengembangan sarana kampus, penelitian, dan peningkatan kualitas tenaga pengajar,” ujar Wahyu.
Ia menambahkan, pengelolaan wakaf dapat membantu kampus menjadi lebih mandiri secara finansial, sehingga tidak terlalu bergantung pada pendanaan instansi lain.
Menurutnya, Kota Malang sebagai kota pendidikan memiliki potensi besar dalam pengembangan wakaf. “Di Kota Malang ada 57 perguruan tinggi dengan hampir 800.000 mahasiswa, hampir menyamai jumlah penduduknya. Ini potensi besar untuk gerakan wakaf,” katanya.
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, menyatakan komitmen UB untuk menjadi mitra strategis BWI dalam membangun kampus berbasis wakaf.
Ia mengungkapkan, UB telah lama mengelola dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) untuk beasiswa dan kegiatan sosial. Namun, pengembangan wakaf untuk dana abadi pendidikan masih menjadi tantangan.
“Kami berupaya mengembangkan dana abadi pendidikan dari alumni, mitra, dan masyarakat. Tapi ini PR besar karena masyarakat masih menganggap berwakaf untuk masjid lebih utama,” jelas Widodo.
Menurutnya, wakaf untuk pendidikan tinggi juga merupakan amal jariyah yang tidak kalah mulia. “Ilmu yang terus diamalkan oleh mahasiswa, penelitian yang memberi manfaat, dan inovasi yang memperkuat bangsa, semuanya adalah amal jariyah yang mengalir tanpa henti,” tuturnya.
“Kami siap menjadi mitra strategis BWI untuk mewujudkan kampus berbasis wakaf — kampus yang mandiri, berkelanjutan, dan membawa kemaslahatan sosial,” tegas Widodo.