Liputan6.com, Jakarta - Dalam sejarah dakwah Islam di tanah Jawa, nama Sunan Kalijaga selalu menempati posisi yang istimewa. Sosok Wali Songo ini dikenal karena strategi dakwahnya yang bijak dan adaptif terhadap budaya lokal. Salah satu media paling efektif yang digunakan adalah wayang, yang menjadi sarana penyebaran Islam secara halus dan berakar kuat di hati masyarakat.
Sunan Kalijaga memahami bahwa untuk menyebarkan agama Islam secara damai, dibutuhkan pendekatan kultural yang tidak memaksa. Ia melihat potensi besar pada kesenian tradisional seperti wayang yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Melalui pendekatan ini, dakwahnya menjadi lebih diterima, bahkan dicintai oleh masyarakat.
Daerah dakwah Sunan Kalijaga mencakup wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. Ia menelusuri berbagai daerah seperti Juwana, Pati, Jepara, Semarang, Pekalongan, hingga Cirebon di sebelah barat, serta Boyolali dan Klaten di bagian selatan. Perjalanan panjang itu menjadikannya dikenal sebagai da’i keliling yang mampu menyapa masyarakat dari berbagai latar sosial dan budaya.
Pada masa itu, masyarakat Jawa masih hidup dalam pengaruh kuat agama Hindu-Buddha serta kepercayaan animisme dan dinamisme. Keadaan ini membuat penyebaran Islam tidak bisa dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui tahapan yang lembut dan penuh kebijaksanaan.
Kondisi Sosial Masyarakat Jawa
Kehidupan masyarakat Jawa abad ke-15 masih kental dengan ritual-ritual keagamaan warisan Majapahit. Animisme dan dinamisme masih berbaur dengan ajaran Hindu-Buddha, membentuk pola kehidupan yang sarat mistisisme. Kepercayaan terhadap roh leluhur dan kekuatan gaib begitu kuat melekat dalam keseharian mereka.
Akibatnya, ketika Islam mulai diperkenalkan, banyak masyarakat yang kesulitan menerima ajaran baru tersebut. Sunan Kalijaga menyadari bahwa perubahan keyakinan tidak dapat dilakukan secara frontal. Ia pun memilih pendekatan yang penuh kearifan agar nilai-nilai Islam bisa diterima tanpa menghapus budaya lama.
Pendekatan yang digunakan adalah dengan mengakulturasikan budaya lokal dan nilai-nilai Islam. Sunan Kalijaga tidak serta-merta menolak tradisi, melainkan menyelipkan ajaran Islam dalam bentuk yang akrab bagi masyarakat Jawa.
Strategi Dakwah Melalui Wayang
Sunan Kalijaga menjadikan wayang kulit sebagai media utama dakwahnya. Wayang sudah digemari masyarakat sejak lama dan menjadi bagian penting dari hiburan sekaligus ritual keagamaan. Melalui pertunjukan wayang, ia menyisipkan nilai-nilai tauhid, akhlak, dan keislaman.
Dalam setiap pementasan, Sunan Kalijaga mensyaratkan satu hal bagi penontonnya: mereka harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia berkata, “لا إله إلا الله محمد رسول الله” (Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadur Rasūlullāh), artinya “Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Melalui cara ini, Islam disebarkan dengan cara yang damai dan menggembirakan. Pertunjukan wayang bukan hanya hiburan, tapi juga sarana pendidikan moral dan spiritual.
Pendekatan Sosial yang Merangkul Semua Lapisan
Selain melalui seni, Sunan Kalijaga juga menempuh jalur sosial dengan berbaur bersama masyarakat.
Ia tidak membeda-bedakan kasta atau golongan, bahkan sering kali bergaul dengan masyarakat kelas bawah yang disebut “abangan”.
Pendekatan ini membuatnya dikenal luas dan dicintai semua kalangan. Ia menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ramah dan merangkul, bukan yang memisahkan.
Melalui kepribadian yang rendah hati, ia berhasil mengubah pandangan masyarakat terhadap ajaran Islam.
Akulturasi: Dari Sesajen Menjadi Selametan
Salah satu bentuk nyata dari strategi akulturasi dakwahnya adalah mengubah tradisi sesajen menjadi selametan.
Jika sebelumnya masyarakat mempersembahkan sesajen kepada roh halus, Sunan Kalijaga menggantinya menjadi sedekah makanan kepada sesama manusia.
Makna “selametan” sendiri berasal dari kata Arab salāmah, yang berarti “kedamaian dan keselamatan”.
Dengan perubahan ini, masyarakat tetap dapat mempertahankan tradisi mereka, tetapi dengan nilai Islam yang lebih murni dan bermanfaat.
Syair dan Tembang Dakwah
Selain wayang, Sunan Kalijaga juga menciptakan tembang-tembang yang sarat makna spiritual, seperti Lir-Ilir dan Rumekso Ing Wengi. Melalui lagu-lagu ini, ia menyampaikan pesan tauhid dan ajakan untuk memperbaiki diri.
Dalam tembang Lir-Ilir, terdapat pesan mendalam tentang kebangkitan iman:“Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo...”Artinya, “Bangunlah, bangunlah, tanaman sudah mulai tumbuh, hijaunya menyegarkan.”
Syair ini menggambarkan ajakan untuk membangkitkan kembali keimanan yang mulai tumbuh subur di hati manusia.
Grebeg dan Sekaten Sebagai Sarana Dakwah
Sunan Kalijaga juga memperkenalkan tradisi Grebeg Sekaten, yaitu perpaduan antara budaya dan dakwah. Ia menggunakan gamelan bernama Kyai Sekati dan Nyai Sekati untuk menarik masyarakat datang ke masjid.
Tradisi ini bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ, sehingga masyarakat yang awalnya datang karena tertarik pada gamelan akhirnya ikut mengenal Islam.
Gamelan Sebagai Media Dakwah
Sunan Kalijaga menciptakan gamelan dengan nada-nada yang lembut dan harmonis, yang kemudian digunakan dalam acara keagamaan. Ia bahkan menggunakan gamelan untuk mengundang masyarakat menghadiri pengajian atau sholat berjamaah di masjid.
Seni dan musik menjadi pintu masuk untuk mengenalkan Islam secara estetis. Melalui bunyi gamelan, masyarakat belajar tentang harmoni dan ketenangan jiwa, yang sejalan dengan ajaran Islam.
Karya dan Warisan Sunan Kalijaga
Dalam pembangunan masjid, Sunan Kalijaga tidak menggunakan arsitektur Timur Tengah, melainkan gaya arsitektur Jawa. Contohnya Masjid Agung Demak, yang dibangun dengan atap bertumpuk menyerupai punden berundak.
Langkah ini memperlihatkan kemampuannya menggabungkan nilai Islam dengan budaya lokal, tanpa menimbulkan benturan budaya. Masjid Demak pun menjadi pusat dakwah dan kebudayaan Islam di tanah Jawa.
Selain dakwah, Sunan Kalijaga juga meninggalkan banyak karya, seperti Gamelan Guntur Madu, Wayang Kulit Purwa, Baju Takwa, Tembang Dhandanggula, dan Syair Puji-pujian Pesantren. Semua karya tersebut merupakan wujud nyata dari semangat dakwah yang kreatif dan berbudaya.
Karya-karyanya hingga kini masih digunakan di berbagai pesantren dan pertunjukan seni Jawa, membuktikan pengaruh panjang dari strategi dakwahnya yang luar biasa.
Mengapa Wayang Lebih Ampuh?
Wayang menjadi media dakwah yang ampuh karena mampu menyentuh lapisan masyarakat tanpa memaksa. Melalui cerita dan simbolisme yang akrab, Sunan Kalijaga mengubah wayang menjadi sarana penyampaian nilai-nilai Islam dengan cara yang menyenangkan.
Ia tidak menghapus tradisi lama, tetapi memurnikannya dengan nilai tauhid. Pendekatan ini menciptakan harmoni antara budaya dan agama, yang kemudian membentuk identitas Islam Nusantara yang damai dan penuh toleransi.
Strategi dakwah Sunan Kalijaga menunjukkan bahwa seni dan budaya dapat menjadi jembatan yang kuat untuk menyampaikan kebenaran Islam. Pendekatan yang lembut, komunikatif, dan kreatif menjadikan ajarannya diterima oleh masyarakat tanpa konflik.
Dengan demikian, wayang bukan hanya warisan budaya Jawa, tetapi juga simbol dakwah Islam yang bijak dan beradab—sebuah warisan intelektual yang patut terus dilestarikan.
People Also Talk
1. Mengapa Sunan Kalijaga disebut pelopor dakwah budaya? Karena ia menggunakan seni dan budaya lokal sebagai media penyebaran Islam yang damai dan mudah diterima masyarakat.
2. Apa pesan utama dalam tembang Lir-Ilir? Pesan kebangkitan iman dan ajakan memperbarui semangat beribadah.
3. Bagaimana Islam disebarkan melalui wayang? Dengan menyisipkan nilai Islam dalam tokoh dan cerita wayang yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
4. Apa tujuan di balik tradisi Grebeg Sekaten? Untuk menarik masyarakat datang ke masjid sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad ﷺ.
5. Mengapa pendekatan Sunan Kalijaga dianggap paling berhasil? Karena ia mampu mengislamkan masyarakat tanpa benturan budaya, melalui akulturasi yang harmonis.