Etika Guru dan Murid dalam Islam, Perspektif Klasik dan Modern

1 day ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Dalam perspektif Islam, pendidikan Islam tidak hanya berpusat pada transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga pada penanaman adab (etika) sebagai fondasi karakter. Oleh karena itu, etika guru dan murid dalam Islam menjadi bagian integral pendidikan.

Syahrawi dalam Buku Etika Guru dan Murid dalam perspektif Islam Klasik dan Modern menjelaskan, para ulama klasik hingga modern sepakat bahwa adab merupakan buah tertinggi dari ilmu, sebagaimana ungkapan masyhur: "Orang beradab sudah pasti berilmu, orang berilmu belum tentu beradab.".

Di sisi lain, merujuk Jurnal Etika Guru dan Murid dalam Pembelajaran (Kajian Kitab Ihya Ulumuddin) oleh Khafrawi, etika guru dan murid melampaui sekadar tata krama. Etika menjadi fondasi spiritual dalam proses pendidikan.

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin, sebagaimana dikutip Khafrawi menegaskan bahwa adab (etika) harus didahulukan daripada ilmu. Berikut ini ulasan mengenai etika guru dan murid, perpektif ulama klasik dan modern.

10 Etika Guru dalam Islam

Dalam perspektif Islam, profesi guru memiliki kedudukan yang sangat tinggi karena ia mengemban tugas para Nabi dan Rasul. Imam Al-Ghazali menempatkan guru sebagai pewaris para nabi. Tugas mengajar ilmu adalah ibadah dan pemenuhan tugas sebagai khalifah Allah yang paling utama, yakni memperbaiki, membersihkan, dan mengarahkan hati agar selalu dekat kepada Allah SWT.

Kedudukan mulia ini sesuai dengan firman Allah mengenai naiknya derajat orang beriman dan berilmu, "Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11).

Dalam praktiknya, Imam Ghazali memberikan panduan etika bagi para guru. Berikut rangkumannya.

Berikut adalah etika-etika guru sebagaimana diuraikan dalam Kitab Ihya Ulumuddin:

1. Memiliki Kasih Sayang (Syufqah) dan Simpati 

Guru wajib memiliki sifat kasih sayang (simpati) terhadap muridnya, memperlakukan mereka selayaknya anak sendiri. Kasih sayang ini diwujudkan dengan tidak memarahi murid atau mendoakan yang buruk atas kesalahan mereka.

"Guru harus memandang kebodohan murid sebagai penyakit yang perlu diobati dengan belas kasih, bukan sebagai kejahatan yang patut dihukum," demikian Syarqawi menjelaskan dalam Jurnal At-Tarbiyah Vol. 1 No. 1 Tahun 2021.

2. Tidak Mengharap Materi atau Balasan Duniawi 

Tujuan guru dalam mengajar adalah semata-mata mencari keridhaan Allah SWT dan berharap pahala di akhirat, bukan mengharap upah, pujian, atau balasan materi dari murid.

Tindakan mengajar dipandang sebagai ibadah dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

3. Tidak Berhenti Memberi Nasihat (Nushsh) 

Guru harus selalu berupaya menasihati murid dan mengingatkan mereka agar giat belajar, menghindari akhlak buruk, dan meninggalkan niat buruk. Jika murid keliru, guru perlu menasihati dengan penuh kelembutan, tidak secara terang-terangan di hadapan banyak orang.

4. Melarang Murid Mencari Kedudukan dan Pangkat 

Guru harus mengingatkan murid agar tidak menggunakan ilmu sebagai alat untuk mencari pangkat, kedudukan, atau harta di dunia. Tujuan ilmu harus diarahkan untuk meraih kebahagiaan akhirat.

5. Proporsional dalam Menyampaikan Ilmu (Fathonah) 

Guru harus menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan kemampuan akal peserta didik (fathonah). Tidak semua ilmu dapat diajarkan secara merata pada semua tingkatan.

Pernyataan: Jika seorang guru mengajarkan materi yang sulit atau melampaui batas pemahaman murid, hal itu dapat menimbulkan fitnah (kebingungan atau kerusakan) dalam benak murid. 

6. Bertindak Sesuai dengan Ilmunya (Keteladanan) 

Guru wajib bertindak dan bersikap sesuai dengan ilmu yang dikuasainya, sehingga ia menjadi teladan yang baik bagi murid. Guru yang tidak mengamalkan ilmunya akan menjadi seperti "lilin yang membakar dirinya sendiri" (memberi manfaat, namun merusak diri sendiri).

Allah SWT mencela orang yang menyuruh kebaikan tetapi melupakan dirinya sendiri. QS. Al-Baqarah: 44: "Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, padahal kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" 

7. Tidak Merendahkan Ilmu Lain dan Ahlinya 

Guru harus menghormati disiplin ilmu lainnya yang terpuji, serta tidak merendahkan ilmu dan ahli ilmu tersebut. Al-Ghazali memandang semua ilmu terpuji saling berkaitan dan mendukung.

8. Membatasi Perdebatan dan Kontroversi 

Guru perlu membatasi diri dari membahas perdebatan atau kontroversi (perbantahan) yang tidak bermanfaat di hadapan murid. Hal ini bertujuan agar murid tidak terbiasa berdebat dan fokus pada penguasaan ilmu yang mendasar.

9. Fokus pada Ilmu yang Penting Terlebih Dahulu 

Guru harus mengajarkan ilmu yang wajib dan fardhu ain bagi murid terlebih dahulu, seperti ilmu tauhid dan dasar-dasar syariat, sebelum mengajarkan ilmu-ilmu fardhu kifayah atau ilmu yang bersifat mendalam.

10. Mengarahkan Murid kepada Tujuan Utama 

Guru harus senantiasa mengingatkan murid bahwa ilmu adalah alat (wasilah) untuk mencapai tujuan akhir yang abadi, yaitu kebahagiaan di akhirat dan kedekatan kepada Allah SWT.

Etika Murid dalam Islam

Ulama klasik dan modern, yang di antaranya adalah Imam Ghazali (klasik) dan Syaikh Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi (modern) meletakkan adab atau etika murid sebagai fondasi mutlak bagi keberhasilan menuntut ilmu. Ilmu (al-ilm) diibaratkan sebagai cahaya ilahi, dan hanya hati yang suci yang layak menjadi wadah untuk menerima cahaya tersebut.

Etika ini berorientasi pada penyucian batin (tazkiyatun nafs) sebagai langkah awal sebelum ilmu itu sendiri dapat diterima dan bermanfaat.

10 Etika Murid dalam Islam

1. Membersihkan Jiwa dari Akhlak Tercela (Prasyarat Spiritual) 

Seorang pelajar harus terlebih dahulu membersihkan jiwanya dari akhlak yang buruk dan sifat-sifat tercela. Al-Ghazali mengibaratkan ilmu pengetahuan sebagai kebaktian hati (shalat bathin). Sebagaimana shalat membutuhkan sucinya badan dari hadas dan najis, ibadah batin membutuhkan sucinya hati dari kotoran budi dan kenajisan sifat.

Al-Ghazali menyebut sifat-sifat rendah seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur (ujub) sebagai "anjing-anjing yang galak", bagaimana mungkin malaikat (pembawa ilmu) masuk ke dalam hati yang penuh dengan anjing-anjing ini?

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki...". (QS. Asy-Syura: 51).

2. Mengurangkan Hubungan dengan Urusan Duniawi (Fokus Total) 

Pelajar hendaknya mengurangkan hubungannya dengan urusan duniawi, menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halaman agar hati tidak terbagi. Hubungan duniawi dapat memengaruhi dan memalingkan hati dari fokus menuntut ilmu.

Pikiran yang terbagi dapat mengurangi kesanggupan untuk mengetahui hakikat ilmu yang mendalam. Hal ini sejalan dengan QS. Al-Ahzab: 4: "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya...".

3. Bersikap Tawadhu', Tidak Sombong, dan Tidak Menentang Guru 

Seorang pelajar harus tidak menyombongkan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Murid harus patuh terhadap pendapat dan nasihat guru secara total, seperti kepatuhan orang sakit kepada dokter yang ahli dan berpengalaman.

4. Menghindarkan Diri dari Kontroversi 

Terutama bagi pelajar pemula, sangat disarankan untuk menghindarkan diri dan tidak terlibat dalam kontroversi dan pertentangan kalangan akademis. Kontroversi dikhawatirkan dapat membingungkan pikiran dan menyurutkan minat terhadap ilmu. Al-Ghazali menyarankan pemula untuk membatasi diri pada pandangan gurunya saja hingga ia menguasainya dengan sempurna.

5. Tidak Meninggalkan Suatu Mata Pelajaranpun dari Ilmu Pengetahuan yang Terpuji 

Semua pelajaran yang terpuji perlu dipahami karena ilmu pengetahuan itu saling membantu dan saling terikat. Meninggalkan ilmu sama dengan meninggalkan faedah dan tetap berada dalam kebodohan, sementara "manusia itu adalah musuh dari kebodohannya".

6. Memelihara Tertib dan Memulai yang Lebih Penting 

Pelajar tidak boleh memasuki suatu bidang ilmu dengan serentak, tetapi harus memelihara tertib dan memulai dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama dan harus disempurnakan adalah ilmu akhirat.

7. Menyempurnakan Bidang Ilmu Sebelumnya 

Ilmu pengetahuan tersusun secara tertib, di mana sebagian menjadi jalan menuju kebahagiaan yang lain. Oleh karena itu, murid tidak boleh "menceplungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya".

Dalam QS. Al-Baqarah: 121 disebutkan, "Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya..."

Ayat ini diartikan sebagai tidak melampaui suatu bidang sebelum dikuasai benar-benar, baik secara ilmiah maupun amaliah.

8. Mengenal Ilmu yang Termulia (Ilmu Agama) 

Pelajar harus memahami bahwa ilmu agama adalah ilmu yang termulia karena hasilnya abadi (ukhrawi), berbeda dengan ilmu kedokteran yang hasilnya hanya kehidupan duniawi (fana).

9. Tujuan Belajar untuk Menghiasi Batin 

Tujuan utama menuntut ilmu adalah menghiasi kebathinan dan mempercantiknya dengan sifat keutamaan (fadhilah). Tujuan ini bukan untuk mencari kedudukan, memperoleh harta, kemegahan, melawan orang bodoh, atau membanggakan diri dengan teman-teman.

10. Memahami Hubungan Pengetahuan dan Tujuan Akhirat 

Murid harus memahami bahwa yang kekal abadi (kenikmatan ukhrawi) adalah yang lebih penting. Al-Ghazali menegaskan, dunia adalah tempat tinggal, badan adalah kendaraan, dan amal perbuatan adalah jalan menuju tujuan, yaitu berjumpa dengan Allah SWT.

People also Ask:

1. Sebutkan 5 adab apa saja yang perlu diterapkan kepada guru?

  • Adab Terhadap Guru
  • Mendoakan kebaikan untuk guru.
  • Tidak menggaduh di hadapan guru.Menghormati hak guru.
  • Merendahkan diri di hadapan guru.
  • Duduk, bertanya, dan mendengarkan dengan baik.
  • Bersabar terhadap kesalahan guru.

2. Apa saja 11 etika dasar guru?

Berikut adalah 11 etika dasar yang harus dijunjung tinggi oleh guru sebagai pendidik:

Kejujuran. Guru harus selalu berkata dan bertindak jujur dalam segala situasi.

Keadilan. Guru harus memperlakukan semua siswa secara adil tanpa diskriminasi.

Tanggung Jawab. ...

Keteladanan. ...

Kedisiplinan. ...

Kesabaran. ...

Kepedulian. ...

Kerendahan Hati.

3. Bagaimana etika murid terhadap guru menurut Kyai Haji Hasyim Asy'ari?

Etika peserta didik terhadap guru dituangkan K.H. Hasyim Asy'ari dalam kitab Adabul 'Alim Wal Muta'allim, diantara 12 aspek etika peserta didik menurut beliau yaitu: peserta didik hendaknya patuh kepada guru dalam berbagai hal, memandang guru dengan rasa hormat, senantiasa mendoakan dan tidak melupakan jasa-jasa guru.

4. Menurut al-Ghazali adab murid terhadap guru ada berapa?

Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah mengemukakan 13 macam konsep adab murid terhadap gurunya. Konsep adab yang dikemukakan menekankan pada perilaku murid ketika berinterkasi dengan guru, mulai dari cara berbicara, cara bertanya, berdiskusi, sikap di hadapan guru, kesabaran dan penghormatan terhadap guru.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |