Gus Baha Tak Suka Dicium Tangannya saat Salaman, Emang Nggak Boleh Gus?

2 months ago 30

Liputan6.com, Jakarta - Tradisi bersalaman dan mencium tangan kerap dilakukan oleh santri atau jamaah sebagai bentuk penghormatan kepada seorang kiai atau tokoh agama. Namun tidak semua ulama merasa nyaman dengan perlakuan tersebut, termasuk KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.

Dalam sebuah kesempatan, Gus Baha menjelaskan bahwa dirinya tidak terlalu senang ketika ada orang yang mencium tangannya saat bersalaman. Bukan karena merasa terganggu secara fisik, tapi lebih kepada alasan batin dan kerendahan hati.

Menurut Gus Baha, salaman memang bagian dari sunnah Rasulullah SAW. Bahkan dalam beberapa riwayat, Nabi Muhammad SAW juga pernah disalami sambil dicium tangannya oleh para sahabat.

Namun, ia menegaskan bahwa meskipun ada dasar dari sunnah, tindakan mencium tangan harus dibarengi dengan niat yang benar dan dijauhkan dari perasaan ujub atau membanggakan diri, baik dari yang mencium maupun yang dicium.

Dikutip Senin (07/07/2025) dari tayangan video di YT Santri Gayeng, Gus Baha menyebut bahwa tindakan mencium tangan memang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan penyakit hati seperti merasa lebih mulia atau lebih tinggi dari orang lain.

Simak Video Pilihan Ini:

Biadab, Guru dan Tukang Kebun Cabuli Siswi di Pemalang

Alasannya Bikin Kaget

Ia juga mengungkap bahwa secara pribadi, ia tidak ingin terlalu sering dicium tangannya karena khawatir akan muncul rasa bangga atau ujub. Sebab, merasa dihormati terus-menerus bisa membuat hati lengah.

Gus Baha mengambil pelajaran dari sosok Uwais Al-Qarni, seorang tokoh besar dalam sejarah Islam yang dikenal karena kesalehan dan kerendahan hatinya. Uwais bahkan tidak mau bersalaman dengan orang lain demi menjaga kejernihan hatinya.

Menurut Gus Baha, Uwais Al-Qarni menghindari salaman bukan karena sombong, tetapi justru untuk menghindari rasa tinggi hati yang bisa muncul karena selalu dihormati oleh orang lain.

Dengan mengacu pada prinsip tersebut, Gus Baha mengadopsi sikap serupa. Ia mengaku tidak merasa nyaman jika setiap bertemu orang harus bersalaman lalu tangannya dicium, karena dikhawatirkan itu menjadi celah masuknya ujub.

“Yang mencium rawan hina, yang dicium rawan ujub,” ucap Gus Baha dalam ceramahnya. Pernyataan ini menjadi penegasan bahwa baik pihak yang memberi hormat maupun yang menerimanya sama-sama harus menjaga hati.

Tak Menolak, Tapi Tak Selalu Menerimanya

Dalam menyikapi hal ini, Gus Baha memilih jalan tengah. Ia tidak menolak salaman secara mutlak, tapi juga tidak selalu menerimanya. Sikap ini diambil sebagai bentuk kehati-hatian spiritual.

“Saya memilih tengah-tengah itu sudah saya pikir. Makanya itu jadi madzhab saya,” tutur Gus Baha, menjelaskan bahwa sikap tersebut merupakan hasil dari pertimbangan panjang, bukan sekadar spontanitas.

Baginya, menjaga kebersihan hati jauh lebih penting daripada mempertahankan tradisi yang berisiko membuka pintu kesombongan. Ia ingin tetap berada di jalur keikhlasan dalam setiap interaksi sosial.

Gus Baha menyadari bahwa sebagai tokoh publik, banyak orang yang merasa perlu menunjukkan rasa hormat secara fisik. Namun ia juga ingin menyampaikan bahwa tidak semua bentuk penghormatan perlu diekspresikan secara berlebihan.

Ia menilai, adab terhadap guru atau ulama tidak melulu diwujudkan lewat cium tangan. Lebih dari itu, memuliakan guru bisa dilakukan dengan mendoakan, mendengarkan ilmunya, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan menyampaikan pandangan ini, Gus Baha mengajak umat untuk lebih peka terhadap makna di balik tindakan-tindakan simbolis. Bahwa menjaga hati tetap rendah adalah tugas utama seorang pencari ilmu.

Pendekatan Gus Baha ini memberi contoh bahwa kehormatan sejati bukan berasal dari simbol fisik, tetapi dari ketulusan dalam bersikap. Dan salah satu bentuk ketulusan itu adalah menjaga diri dari segala bentuk kesombongan, sekecil apa pun.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |