Kesabaran Abu Qilabah, Keterbatasan Fisik yang Mengantarnya ke Surga

11 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Nama Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al-Jarmi barangkali tak sepopuler para sahabat besar lainnya, namun kisah hidupnya menjadi cermin luar biasa tentang makna sabar dan syukur yang sesungguhnya. Kisah kesabaran Abu Qilabah menjadi iktibar iman yang melampaui fisik.

Berbeda dengan sahabat Nabi SAW lainnya, Abu Qilabah tubuhnya tak sempurna. Dalam e-book berjudul Abu Qilabah, Mengajarkan Sabar dan Syukur kepada Allah SWT oleh Eko Haryanto Abu Ziyad, diceritakan bagaimana seorang hamba Allah yang kehilangan kedua tangan dan kakinya, pendengarannya lemah, serta penglihatannya hampir rabun, justru senantiasa memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang ia rasakan.

Kondisi yang bagi kebanyakan orang menjadi alasan untuk berkeluh kesah, bagi Abu Qilabah justru menjadi jalan menuju ketenangan batin. Dalam kondisi demikian, Abu Qilabah tak henti-henti bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT.

Sosok Abu Qilabah dan Kesabarannya

Nama lengkap Abu Qilabah ialah Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Beliau termasuk golongan sahabat dan seorang perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik.

Abu Qilabah sendiri seorang yang masyhur sebagai ahli ibadah dan zuhud. Beliau berasal dari kota Bashrah dan wafat di Syam pada 104 H.

Ibnu Hibban mencatat dalam Kitab Ats-Tsiqot mengenai salah satu kisah Abu Qilabah yang haru di saat-saat terakhir beliau menahan beban hidup dengan selalu sabar, syukur dan memuji Allah. Upaya-upaya tersebut ternyata membawanya ke dalam surganya Allah dengan indah.

Dikisahkan beliau meninggalkan Bashrah ke Syam karena tak mau diberi jabatan qadi oleh sang raja. Ia turutsertakan anak laki-lakinya untuk memulai hidup barunya di Syam.

Dalam perjalanan di hamparan padang pasir, Abu Qilabah yang sudah tua itu mendapat musibah yang pada akhirnya membuatnya harus kehilangan kedua tangan dan kaki.

Bahkan, dalam kondisi yang sudah begitu lemah, dia kehilangan anak yang selama ini merawatnya. Namun begitu, dia tepat teguh dalam iman dan senantiasa bersyukur.

Wafat dalam Keadaan Tersenyum

Dikisahkan, ketika Abdullah bin Muhammad menemuinya di sebuah kemah di tepi pantai, ia mendapati sosok yang hanya bisa berbicara karena seluruh anggota tubuh lainnya telah lumpuh. Meski demikian, lisan Abu Qilabah tidak pernah berhenti memuji Allah.

Ketika ditanya apa nikmat yang ia syukuri dalam keadaan seperti itu, Abu Qilabah menjawab dengan penuh keyakinan bahwa Allah telah memberinya kenikmatan besar berupa lidah yang masih dapat digunakan untuk berzikir dan memuji-Nya.

Tidak hanya itu, ujian demi ujian terus menimpanya. Ia kehilangan anak satu-satunya yang selama ini membantunya makan, minum, dan berwudhu. Ketika kabar duka itu disampaikan, Abu Qilabah tetap menanggapinya dengan ketundukan yang luar biasa:

“Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepada-Nya, lalu Ia menyiksanya dengan api neraka,” kemudian ia mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, menarik napas panjang, dan wafat dalam keadaan tersenyum.

Kisah ini menjadi puncak dari perjalanan spiritual seorang hamba yang tidak lagi menilai kehidupan dari kelengkapan jasmani, melainkan dari kedekatan ruhani dengan Sang Pencipta.

Kewajiban Syariat dalam Keterbatasan Fisik

Kisah Abu Qilabah juga menjadi pelajaran penting dalam konteks kewajiban syariat. Dalam konteks fiqih, Islam tidak pernah memandang cacat tubuh sebagai penghalang untuk beribadah.

Namun, di sisi lain kondisi fisik tidak sempurnanya menjadi contoh keleluasan hukum syariat yang meringankan bagi yang memiliki keterbatasan.

Mengutip Artikel berjudul “Bersuci Bagi Orang dengan Kondisi Fisik yang Tak Sempurna” Ajeng Putri Andani menegaskan bahwa syariat tetap berlaku universal, termasuk bagi mereka yang kehilangan anggota tubuh.

Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]: 6: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”

Namun, para ulama seperti Syaikh Zakariya al-Ansari dan Syaikh Ibrahim al-Bujairami menjelaskan bahwa ketentuan wudhu menyesuaikan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang hanya memiliki sebagian tangan, maka wajib membasuh bagian yang tersisa. Tetapi jika tangan atau kakinya tidak ada sama sekali, maka kewajiban itu gugur.

Bagi mereka yang tak mampu berwudhu sendiri, Islam memberi ruang keringanan berupa bolehnya meminta bantuan orang lain ketika ada uzur seperti sakit, sebagaimana Rasulullah SAW pernah dibantu Mughirah bin Syu’bah saat berwudhu dalam perjalanan.

Prinsip syariat ini menegaskan bahwa rahmat Allah selalu lebih luas dari keterbatasan hamba-Nya.

Kesabaran Jalan Menuju Surga

Abu Ziyad mengutip Ats-Tsiqot menutup kisah Abu Qilabah dengan penuturan mimpi Abdullah bin Muhammad. Ia melihat Abu Qilabah di surga, mengenakan dua kain putih dan melantunkan ayat Allah:

سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

Artinya: “Keselamatan bagi kalian karena kesabaran kalian; maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 24).

Dalam mimpi Abdullah, Abu Qilabah berkata bahwa derajat mulia itu diperoleh karena sabar ketika ditimpa bencana, syukur ketika lapang, dan rasa takut kepada Allah baik dalam kesendirian maupun di hadapan manusia.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dijelaskan dalam konteks gambaran keadaan penghuni surga saat disambut oleh malaikat.

“Para malaikat akan masuk ke tempat-tempat mereka dari segala pintu seraya mengucapkan: ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’, yakni atas kesabaran kalian di dunia dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, meninggalkan larangan-Nya, dan menerima segala ketetapan-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir QS. Ar-Ra’d: 24).

Beliau menegaskan kesabaran inilah yang menyebabkan seseorang mendapat salam penghormatan dari malaikat, yakni sabar dalam ketaatan, sabar menjauhi maksiat dan sabar menghadapi takdir Allah.

Pesan spiritual ini menegaskan bahwa kesempurnaan hidup bukan pada fisik, melainkan pada kesempurnaan iman dan keteguhan hati. Sabar bukanlah pasrah tanpa daya, tetapi keyakinan bahwa setiap ujian adalah jembatan menuju ridha Allah SWT.

Bukan Kesempurnaan Jasmani, tapi Keteguhan Iman

Kisah Abu Qilabah bukan sekadar biografi seorang ahli ibadah di masa lampau, melainkan pelajaran hidup yang menembus batas waktu dan keadaan. Di tengah dunia modern yang sering menilai manusia dari kesempurnaan jasmani, kisah ini mengingatkan bahwa nilai tertinggi manusia ada pada keteguhan imannya.

Abu Qilabah telah membuktikan bahwa kehilangan anggota tubuh tidak berarti kehilangan semangat hidup. Ia mengajarkan bahwa sabar dan syukur adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, keduanya menjadi kunci menuju kebahagiaan hakiki.

Sebagaimana ditegaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu bahwa pahala diberikan sesuai dengan kadar amal yang dilakukan seseorang.

Maka bagi mereka yang tetap beribadah dalam keterbatasan, pahalanya justru berlipat karena perjuangannya lebih besar. Kisah Abu Qilabah pun akhirnya menjadi saksi bahwa kesabaran seorang hamba mampu mengantarnya ke taman surga, tempat di mana salam dan kedamaian abadi menjadi balasan bagi yang sabar.

Hikmah Kisah Kesabaran Abu Qilabah

1. Kesabaran Melahirkan Derajat yang Tinggi di Sisi Allah SWT

Kisah Abu Qilabah menegaskan bahwa sabar bukan sekadar menahan diri dari keluh kesah, tetapi menerima takdir Allah dengan penuh ridha. Meski kehilangan tangan, kaki, pendengaran, dan penglihatan, beliau tetap berkata:

2. Syukur Tidak Bergantung pada Keadaan Fisik

Abu Qilabah mengajarkan bahwa syukur sejati tidak diukur dari kelengkapan anggota tubuh atau kemewahan duniawi, melainkan dari kesadaran atas nikmat yang masih ada. Ia tetap bersyukur karena Allah masih memberinya lidah untuk berzikir.

3. Ujian Adalah Bukti Cinta Allah kepada Hamba-Nya

Sebagaimana sabda Nabi SAW:

“Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka.” (HR. Tirmidzi)Kehidupan Abu Qilabah adalah bukti nyata dari hadits ini. Allah menguji hamba-hamba pilihan-Nya dengan kesulitan untuk meninggikan derajat mereka, sebagaimana juga terjadi pada Nabi Ayyub AS — tokoh yang dijadikan perbandingan dalam kisah tersebut. Abu Qilabah meneladani kesabaran Nabi Ayyub, menunjukkan bahwa iman sejati diuji justru ketika nikmat dunia dicabut satu per satu.

4. Nilai Kehidupan Tidak Ditentukan oleh Jasmani, tetapi oleh Ruhani

Abu Qilabah hidup dengan tubuh yang rusak, tetapi jiwanya sempurna dan bercahaya. Ini menunjukkan bahwa ukuran kemuliaan di sisi Allah bukan fisik, jabatan, atau kekayaan, melainkan ketulusan hati dan keikhlasan beribadah.

Ketika kehilangan anak satu-satunya yang menjadi penolongnya, Abu Qilabah tidak berteriak atau berduka secara berlebihan.

6. Bukti Bahwa Syariat Islam Menjaga Kehormatan Setiap Hamba

Kisah Abu Qilabah mengilhami pembahasan fikih tentang bersuci bagi orang dengan fisik tidak sempurna. Para ulama menjelaskan bahwa kewajiban wudhu tetap berlaku sesuai kemampuan.

7. Sabar dan Syukur Adalah Dua Sayap Iman

Abu Qilabah mengajarkan keseimbangan antara sabar saat diuji dan syukur saat lapang. Dalam mimpinya, ia berkata: “Derajat-derajat kemuliaan itu tidak bisa diperoleh kecuali dengan sabar ketika ditimpa bencana, dan syukur ketika dalam kelapangan, serta rasa takut kepada Allah dalam setiap keadaan.”

8. Kematian yang Mulia bagi Orang yang Sabar

Abu Qilabah wafat dalam keadaan mengucap pujian kepada Allah, sebuah tanda husnul khatimah. Setelah kematiannya, wajahnya disaksikan bercahaya dan dimuliakan oleh para sahabatnya. Ini menunjukkan bahwa kesabaran yang tulus akan menjemput kemuliaan bahkan setelah ajal datang.

People Also Ask

1. Siapakah sahabat Rasulullah yang paling sabar?

Sahabat nabi yang paling sabar adalah Abu Qilabah. Abu Qilabah termasuk sahabat nabi yang banyak meriwayatkan hadits. Dalam Sunan At Tirmidzi disebutkan, Abu Qilabah memiliki nama asli Abdullah bin Zaid al-Jarmi.

2. Apakah maksud dari al qilabah?

Abu Qilabah adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan kesabaran dan rasa syukurnya yang luar biasa dalam menghadapi segala ujian hidup. Sikapnya yang selalu bersyukur atas ketetapan Allah menjadikannya sosok yang patut diteladani oleh setiap Muslim.

3. Siapa manusia yang paling sabar di dunia?

Tidak ada satu pun orang yang dapat secara resmi dinobatkan sebagai "orang tersabar di dunia", tetapi beberapa tokoh historis sering disebut sebagai contoh kesabaran tertinggi, seperti Nabi Ayyub, yang dikenal karena ketahanan luar biasa dalam menghadapi cobaan hidup yang berat. Selain itu, banyak tokoh lain, terutama dalam tradisi keagamaan, yang juga dihormati karena kesabaran luar biasa mereka, seperti Sayidah Zainab binti Ali dan Nabi Muhammad SAW sendiri.

4. Siapa sahabat nabi yang paling nakal?

Sahabat Nabi yang paling jahil adalah Nu'aiman bin Ibnu Amr, yang dikenal dengan sifatnya yang jenaka dan gemar bercanda. Kejahilannya sering kali membuat Rasulullah SAW tertawa, meskipun tingkah lakunya terkadang membuat sahabat lain terpingkal-pingkal atau bahkan kebingungan.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |