Liputan6.com, Jakarta - Hukum flexing atau pamer kekayaan dalam Islam kerap menyeruakn ditengah derasnya fenomena 'ujub' yang kini menjadi wajah baru gaya hidup digital masyarakat modern. Di tengah derasnya arus media sosial, perilaku menampilkan kemewahan kini tidak lagi sekadar ekspresi, tetapi juga simbol status dan pencarian identitas.
Secara sederhana, flexing adalah istilah populer yang berarti memamerkan kekayaan, gaya hidup, atau pencapaian secara berlebihan, biasanya di media sosial. Kata “flex” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “membengkokkan otot” atau “memamerkan kekuatan”, dan dalam konteks modern berarti “menunjukkan sesuatu untuk pamer
Evayanti Yuliana Putri dalam Jurnal Flexing Sebagai Simulasi Mesin Hasrat dan Fragmentasi Tubuh Generasi Z mendefinisikan flexing adalah praktik sosial untuk menegaskan eksistensi dan identitas dirinya melalui unggahan di media sosial seperti Instagram dan TikTok.
Bahkan, kerapkali flexing itu dibumbui dengan hal yang tak sesuai fakta atau hiperrealitas, tempat citra palsu dianggap lebih penting daripada realitas: Foto liburan hasil editan, barang mewah pinjaman, atau pakaian replika seolah asli.
Hukum Flexing atau Pamer Kekayaan dalam Islam
Dalam tinjauan hukum Islam, Shine Al Anjuwi dari UIN Raden Intan Lampung dalam jurnal Pandangan Hukum Islam Terhadap Fenomena Flexing di Media Sosial menyebut bahwa flexing identik dengan riya’, pamer amal atau nikmat dengan tujuan mendapat pujian manusia.
Islam, tidak melarang seseorang menikmati rezeki, tetapi melarang menjadikannya alat kesombongan. “Riya adalah penyakit hati yang menghapus nilai amal,” tulis Al Anjuwi dalam Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam.
Perilaku flexing, kerap disertai unsur takabbur (kesombongan) dan israf (pemborosan). Dua hal ini termasuk dalam perbuatan tercela yang mendapat ancaman dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan sombong, karena engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37).
Islam juga memperingatkan bahwa kesombongan sekecil biji zarrah dapat menjadi penghalang seseorang memasuki surga. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji zarrah.” (HR. Muslim).
Karena itu, flexing dalam bentuk pamer kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup, apabila diniatkan untuk membanggakan diri dan merendahkan orang lain, tergolong haram.
Dalil Larangan Pamer atau Flexing Kekayaan Sesuai Alquran
Merujuk karya ilmiah berjudul Fenomena Perilaku Konsumen dalam Perspektif Islam, karya Syarifah Fatimah dkk, sikap suka menonjolkan kemewahan dan menampilkan diri demi pujian tergolong perilaku tercela yang dilarang oleh Al-Qur’an dan hadis. Para ulama menempatkannya sebagai bagian dari penyakit hati: riya, ujub, dan takabbur.
Berikut ini adalah dalil larangan pamer dalam Islam:
a. QS. Luqman [31]: 18
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(QS. Luqman [31]: 18)
Ayat ini menjadi dasar larangan bagi setiap bentuk kesombongan, termasuk pamer harta dan status sosial. Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “memalingkan muka” adalah sikap merendahkan orang lain karena merasa lebih tinggi atau lebih kaya. Menurut beliau:
“Ayat ini mencakup larangan atas kesombongan dalam tutur kata, gaya berjalan, dan penampilan yang dimaksudkan untuk membanggakan diri di hadapan manusia.”Dalam konteks modern, perilaku seperti itu tercermin dalam flexing—menampilkan kemewahan di media sosial agar tampak lebih unggul dari orang lain.
b. QS. Al-Hadid [57]: 23
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“(Kami jelaskan demikian) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid [57]: 23).
Ayat ini menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada kepemilikan harta. Al-Qurthubi dalam tafsirnya menulis bahwa larangan ini berlaku bagi orang yang yufakhirun bima aatahumullah—membanggakan apa yang Allah berikan padanya—yakni pamer harta, kedudukan, atau kekayaan yang seharusnya disyukuri, bukan dipamerkan.
c. QS. Al-Isra [17]: 26–27
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan berikanlah hak kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."(QS. Al-Isra [17]: 26–27)
Ayat ini menjadi rambu bagi mereka yang mengeluarkan uang atau menampilkan kemewahan tanpa tujuan yang benar. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut israf (berlebih-lebihan) bukan hanya dalam konsumsi, tapi juga dalam tampila, termasuk berpakaian dan memperlihatkan gaya hidup secara berlebihan untuk dipuji orang lain.
Hadis Larangan Pamer dan Kesombongan
a. Hadis tentang Riya’
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’, yaitu seseorang beramal untuk dilihat oleh manusia.” (HR. Ahmad, no. 23630)
Hadis ini menjadi dasar utama bagi larangan flexing dalam konteks spiritual. Riya’ berarti menampilkan amal atau kelebihan demi mendapatkan pujian. Dalam konteks kekinian, unggahan pamer kekayaan, donasi, atau gaya hidup yang dilakukan demi popularitas digital termasuk bentuk riya modern.
Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, riya’ dapat “menyusup dalam amal kecil hingga pelaku tidak menyadari bahwa niatnya bergeser dari Allah menuju manusia.” Karena itu, setiap tindakan yang dilakukan untuk pengakuan publik, termasuk di media sosial, perlu diwaspadai.
b. Hadis tentang Kesombongan
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji zarrah (debu).” (HR. Muslim, no. 91).
Ketika seorang sahabat bertanya apakah orang yang suka berpakaian bagus dan bersepatu indah juga sombong, Rasulullah ﷺ menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”
Dari hadis ini, para ulama menegaskan bahwa memiliki atau memakai hal yang indah tidaklah terlarang, tetapi menunjukkannya untuk membanggakan diri dan merendahkan orang lainlah yang diharamkan. Ini menjadi batas yang membedakan antara menikmati nikmat dan memamerkan nikmat.
c. Hadis tentang Gaya Hidup Sederhana
“Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan kesombongan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan prinsip keseimbangan (wasathiyyah). Menurut Imam al-Munawi dalam Faid al-Qadir, maksud dari larangan “berlebih-lebihan” bukan pada kuantitas semata, tetapi pada niat dan tujuan—yakni ketika seseorang menggunakan kenikmatan dunia untuk menonjolkan diri di hadapan orang lain.
Pandangan Ulama Mengenai Flexing
Jurnal Pandangan Hukum Islam Terhadap Fenomena Flexing di Media Sosial, Shine Al Anjuwi juga membahas pandangan ulama mengenai pamer kekayaan atau flexing. Mayoritas menghukuminya haram.
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menempatkan hubb al-jaah (cinta popularitas) dan hubb al-maal (cinta harta) sebagai dua penyakit hati yang paling membinasakan. Flexing modern merupakan pertemuan keduanya, menampilkan harta demi popularitas. Ia menulis:
“Orang yang menampakkan nikmat dunia untuk menimbulkan kekaguman manusia sesungguhnya sedang menanamkan benih riya dalam hatinya.” (Ihya’ Ulumuddin).
Dalam Fath al-Bari syarah hadis tentang riya, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa riya bisa muncul dalam bentuk “isyarat, ucapan, atau simbol yang menunjukkan kelebihan diri.
Dalam konteks digital, unggahan bergaya hidup mewah atau pamer sedekah dapat termasuk dalam kategori simbolis riya.
Ulama modern seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa umat Islam harus menyesuaikan adab syariah dengan zaman. Dalam bukunya Fiqh al-Zakah, ia menulis: “Memublikasikan amal sosial di masa kini diperbolehkan bila tujuannya transparansi, bukan glorifikasi.”
Dengan kata lain, publikasi sedekah lembaga sosial untuk akuntabilitas boleh dilakukan, tapi pamer kekayaan pribadi tanpa maslahat adalah pelanggaran etika Islam.
Pamer yang Diperbolehkan, Apa Saja?
Nihayatul Husna, dkk dalam jurnal Konten Flexing Bersedekah dalam Perspektif Hukum Islam (Kajian Tafsir Ahkam), membahas antara pamer yang dilarang dan yang diperbolehkan dalam Islam. Fenomena pamer atau flexing tidak selalu bermakna negatif.
Dalam kajian ilmiah ini terungkap, dalam perspektif Islam, ada bentuk pamer yang masih diperbolehkan, selama dilandasi niat yang benar dan memberi manfaat sosial. Lantas apa saja pamer yang diperbolehkan dalam hukum Islam?
1. Pamer Amal untuk Kebaikan
Menurut Nihayatul Husna, Islam memperbolehkan seseorang menampakkan amal atau nikmat bila bertujuan mengajak orang lain berbuat baik, menumbuhkan semangat sosial, atau menunjukkan rasa syukur kepada Allah. Hal ini berdasar firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 271:
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik; tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu.”
Ayat ini, jelas Husna, menunjukkan bahwa pamer amal bisa bernilai baik bila dilakukan dengan niat yang benar.
2. Pamer untuk Dakwah
Dalam konteks sedekah, publikasi yang bertujuan menginspirasi masyarakat untuk ikut bersedekah termasuk dalam kategori pamer yang diperbolehkan.
Ia menulis dalam penelitiannya: “Publikasi amal kebajikan di media sosial menjadi sah secara syar‘i jika niatnya adalah mengajak orang lain berbuat baik (li al-da‘wah), bukan untuk meninggikan citra diri (li al-riya).”
3. Pamer untuk Syiar dan Transparansi Sosial
Selain untuk dakwah, Husna menjelaskan bahwa pamer juga diperbolehkan dalam konteks transparansi publik, misalnya ketika lembaga zakat atau organisasi sosial menampilkan laporan kegiatan, pembagian bantuan, atau hasil pengumpulan dana.
Tujuannya adalah agar masyarakat percaya dan termotivasi untuk ikut berpartisipasi. Dalam hal ini, pamer tidak lagi bersifat personal, tetapi berorientasi pada maslahat umum (kemaslahatan sosial). “Publikasi amal oleh lembaga atau tokoh agama tidak termasuk riya apabila disertai keterbukaan niat dan manfaat bagi masyarakat.” tulisnya.
3. Pamer Nikmat dengan Rasa Syukur
Selain itu, Islam juga membolehkan seseorang menampakkan nikmat Allah sebagai bentuk syukur dan pengakuan terhadap karunia-Nya, selama tidak menimbulkan kesombongan.
Hal ini berlandaskan ayat QS. Adh-Dhuha [93]: 11: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan.”
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud “menyatakan nikmat” bukanlah pamer harta, tetapi mengakui karunia Allah dengan cara yang baik dan penuh adab—misalnya berbagi kisah inspiratif, membantu orang lain, atau mengajak bersyukur atas rezeki yang diterima.
Nihayatul Husna menyebut bentuk pamer seperti ini sebagai “pamer syukur”, yakni menampakkan nikmat untuk mengingatkan orang lain akan kebesaran Allah, bukan menonjolkan diri.
Syarat dan Contoh Pamer yang Diperbolehkan
Berdasarkan analisis tafsir ahkam yang dikemukakan Husna, pamer hanya diperbolehkan dalam Islam jika memenuhi empat syarat utama:
- Niat ikhlas: dilakukan semata untuk dakwah, syukur, atau transparansi, bukan mencari pujian.
- Tidak merendahkan orang lain: tidak ada unsur menghina, membandingkan, atau menonjolkan diri.
- Tidak menimbulkan fitnah atau iri hati: dilakukan dengan cara santun dan proporsional.
- Memberi manfaat sosial: publikasi atau pamer tersebut memotivasi kebaikan bersama.
Jika keempat syarat ini tidak terpenuhi, maka tindakan pamer berubah menjadi riya dan termasuk dosa hati yang dilarang.
Contoh Pamer yang Diperbolehkan Menurut Islam:
- Publikasi sedekah lembaga zakat untuk menumbuhkan kepercayaan dan semangat berbagi.
- Posting dakwah atau inspirasi amal yang menonjolkan manfaat, bukan pelaku.
- Menampilkan keberhasilan kerja keras dengan ucapan syukur kepada Allah, bukan kebanggaan diri.
- Membagikan testimoni keberhasilan dalam konteks motivasi dan edukasi (tanpa glorifikasi pribadi).
Islam tidak menolak sepenuhnya tindakan menampakkan sesuatu di hadapan publik. Yang dilarang adalah pamer yang bermotif sombong, riya, dan memicu iri hati.
People Also Ask
1. Apakah boleh pamer harta dalam Islam?
Hukum pamer harta dalam Islam adalah haram karena termasuk perbuatan sombong (kibr), yang dilarang oleh Allah SWT. Pamer harta juga dapat menghilangkan pahala amal, menyakiti perasaan orang lain, dan membahayakan diri sendiri karena dapat membuat seseorang menjadi ujub (bangga diri). Namun, memiliki dan menunjukkan nikmat Allah (seperti pakaian bagus) hukumnya sunnah asalkan tidak disertai kesombongan.
2. Apakah haram memamerkan kekayaan?
Yang terpenting adalah bagaimana kekayaan Anda dikumpulkan dan dibelanjakan. Namun, Islam secara tegas melarang perolehan atau pengembangan kekayaan melalui riba (bunga), gharar (ketidakpastian yang berlebihan), dan industri haram seperti alkohol, perjudian, dan senjata .
3. Apakah flexing itu dosa?
Ya, flexing dianggap dosa dalam Islam karena termasuk sifat sombong, pamer (riya), dan membanggakan diri yang dilarang. Perilaku ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan sikap rendah hati, keikhlasan, dan menghindari kesombongan, yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa yang lebih besar seperti iri dan dendam.
4. Apakah memamerkan kekayaan merupakan dosa?
Uang itu sendiri bukanlah dosa . Menjadi kaya tidak identik dengan berbuat jahat. Namun, Yakobus menunjukkan sesuatu yang sangat meresahkan: Ketika terlepas dari pengabdian kepada Tuhan, kekayaan kita dapat menyimpan penghakiman bagi kita.

5 hours ago
2
:strip_icc()/kly-media-production/promo_images/1/original/085223300_1761037787-Desktop_1280_x_190.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/885386/original/003007200_1432609352-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3433074/original/r-view-beautiful-asian-muslim-woman-wearing-white-sleepwear-stretching-her-arms-after-getting-up-morning-sunrise-cute-young-girl-with-blue-hijab-standing-relaxing-while-looking-away_44289-1276__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4628436/original/095598200_1698637528-8712637.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3954600/original/001373400_1646637027-3110.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5169862/original/050122900_1742550938-pexels-shukran-2103130.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4262146/original/085381500_1671090332-pexels-alena-darmel-8164382.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5142778/original/047144800_1740471441-pexels-mikhail-nilov-9783906.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5365524/original/054763800_1759199598-Wanita_muslim_membaca_buku_di_kasur.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5365523/original/042845000_1759199598-Dua_wanita_muslimah_membaca_buku.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5391374/original/020932200_1761311781-pant4.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5380435/original/008084100_1760424585-Pria_berdoa_setelah_sholat__Pexels_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4975694/original/033193500_1729565937-nama-wali-songo.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/930714/original/070224300_1437079645-sunan-giri.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4787028/original/057370300_1711568364-WhatsApp_Image_2024-03-28_at_02.38.08.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/930718/original/070650000_1437079645-sunan-muria-kabarmakkah.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1935315/original/054978200_1519567737-Topeng_Losari_Berusia_Ratusan_Tahun.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1634728/original/051392600_1498556758-1__rain-316580_960_720__Pixabay.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/930720/original/2cda8888ff3dd5f06447f220aa1aec02-desabebel.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5167593/original/083515700_1742364471-Kesehatan_mata.jpg)





























