Zina Ghairu Muhsan Adalah: Pengertian dan Hukumnya Menurut Islam

1 month ago 16

Liputan6.com, Jakarta - Zina ghairu muhsan adalah perbuatan perzinaan yang dilakukan oleh pasangan yang belum  menikah secara sah. Konsep ini berbeda dengan zina muhsan yang dilakukan oleh orang yang sudah atau pernah menikah.

Dalam syariat Islam, perzinaan merupakan salah satu dosa besar yang dilarang dengan tegas. Larangan ini bukan hanya untuk menjaga kehormatan individu, tetapi juga untuk melindungi tatanan sosial masyarakat.

Melansir dari jurnal Posita: Jurnal Hukum Keluarga Islam (2023), zina adalah perbuatan keji yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi pelaku dan masyarakat. Pembagian kategori zina ini penting dipahami karena menentukan jenis sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku. 

Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya melansir dari berbagai sumber, Rabu (06/08/2025).

Pengertian Zina Ghairu Muhsan

Zina ghairu muhsan adalah tindak pidana perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum pernah menikah secara sah menurut syariat Islam. Istilah "ghairu muhsan" berasal dari bahasa Arab yang berarti "tidak terlindungi" atau "tidak dalam keadaan terlindungi pernikahan".

Menurut definisi yang dikemukakan dalam buku Jangan Dekati Zina karya Hafidz Muftisany (2021), zina adalah perbuatan keji yang dapat menimbulkan kemudharatan. Secara lebih spesifik, zina ghairu muhsan mencakup perbuatan perzinaan yang dilakukan oleh:

  • Laki-laki dan perempuan yang belum pernah menikah - Mereka yang masih berstatus lajang dan belum pernah mengalami pernikahan yang sah
  • Janda atau duda - Mereka yang pernah menikah tetapi sudah tidak terikat lagi dengan pernikahan karena perceraian atau kematian pasangan
  • Pasangan yang melakukan hubungan di luar nikah - Meskipun keduanya berkomitmen, tetapi belum melaksanakan pernikahan yang sah secara agama

Melansir dari Posita: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 01 No. 01 (2023), zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga atau masih berstatus janda/duda. Konsep ini berbeda fundamental dengan zina muhsan yang pelakunya masih terikat dalam pernikahan yang sah.

Dalam hukum Islam, status muhsan atau ghairu muhsan sangat menentukan jenis hukuman yang akan dijatuhkan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa Islam mempertimbangkan kondisi sosial dan legal seseorang dalam menentukan sanksi, sambil tetap menegakkan prinsip keadilan dan pencegahan.

Dasar Hukum Zina Ghairu Muhsan

Dasar hukum mengenai zina ghairu muhsan dalam Islam terdapat dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW. Landasan utama terdapat dalam Surat An-Nur ayat 2 yang menjadi pedoman dalam menentukan hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan.

Firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat An-Nur ayat 2 berbunyi:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman."

Ayat ini menunjukkan ketegasan Islam dalam menegakkan hukuman had, dengan larangan memberi belas kasihan yang dapat membatalkan atau melemahkan penegakan hukum Allah. Pelaksanaan hukuman harus dilakukan di hadapan khalayak ramai sebagai pembelajaran dan efek pencegahan.

Melansir dari penelitian dalam jurnal Studi Perbandingan Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif (2023), dasar hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan juga diperkuat dengan hadits-hadits sahih yang menjelaskan implementasi ayat tersebut. Para ulama sepakat bahwa ayat An-Nur tersebut secara khusus mengatur hukuman untuk zina ghairu muhsan.

Dalam tradisi fiqh, berbagai mazhab seperti Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hanbali memiliki interpretasi yang sedikit berbeda mengenai detail pelaksanaan, namun sepakat bahwa hukuman cambuk seratus kali adalah kewajiban syariat yang tidak dapat ditawar-tawar.

Jenis Hukuman Zina Ghairu Muhsan

Hukuman untuk pelaku zina ghairu muhsan dalam syariat Islam terdiri dari dua jenis sanksi yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ketentuan ini berdasarkan pada Al-Quran dan interpretasi para ulama fiqh sepanjang sejarah Islam.

Hukuman utama yang ditetapkan meliputi:

  1. Dera seratus kali cambuk - Berdasarkan Al-Quran Surat An-Nur ayat 2, setiap pelaku zina ghairu muhsan wajib menerima hukuman cambuk sebanyak seratus kali
  2. Pengasingan selama satu tahun - Hukuman tambahan berupa pembuangan dari tempat tinggal asal ke daerah lain selama masa satu tahun penuh
  3. Pelaksanaan di hadapan publik - Eksekusi hukuman harus disaksikan oleh sekelompok orang mukmin sebagai pembelajaran masyarakat
  4. Larangan memberi belas kasihan - Pelaksana hukuman dilarang meringankan atau menunda eksekusi karena rasa iba

Menurut buku Sembuh Total dengan Wirid Asmaul Husna karya Rizem Aizid, dalam hukum Islam terdapat perbedaan signifikan antara hukuman zina muhsan dan ghairu muhsan. Untuk zina ghairu muhsan, hukumannya adalah cambuk seratus kali dan pengasingan, sementara zina muhsan dikenai hukuman rajam hingga mati.

Melansir dari Posita: Jurnal Hukum Keluarga Islam (2023), terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukuman pengasingan.

  • Imam Abu Hanifah berpendapat pengasingan tidak wajib, sementara Imam Syafi'i mewajibkan pengasingan bagi semua pelaku zina ghairu muhsan.
  • Imam Malik membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam penerapan hukuman pengasingan.

Syarat Pembuktian Zina Ghairu Muhsan

Pembuktian tindak pidana zina ghairu muhsan dalam hukum Islam memiliki standar yang sangat ketat dan spesifik. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kehormatan individu dan mencegah tuduhan sembarangan yang dapat merusak reputasi seseorang.

Islam menetapkan tiga cara pembuktian yang sah untuk kasus zina ghairu muhsan:

1. Kesaksian Empat Orang Saksi

Melansir dari penelitian Implementasi Isolasi Terhadap Pelaku Zina Ghair Muhsan (2023), syarat kesaksian meliputi:

  • Saksi harus berjumlah tepat empat orang laki-laki
  • Semua saksi harus muslim, baligh, berakal sehat, dan adil
  • Saksi harus melihat langsung perbuatan zina dengan jelas
  • Kesaksian harus diberikan dalam satu majelis yang sama
  • Tidak boleh menggunakan kata-kata sindiran atau berbelit-belit

2. Pengakuan Langsung Pelaku

Pengakuan harus memenuhi kriteria:

  • Diucapkan empat kali menurut madzhab Hanafi, atau satu kali menurut Syafi'i
  • Dijelaskan secara terperinci tanpa ada keraguan
  • Berasal dari orang yang berakal dan merdeka
  • Dinyatakan di hadapan pengadilan menurut sebagian ulam

3. Qarinah (Petunjuk Kuat)

Berupa bukti-bukti kuat yang menunjukkan terjadinya zina, seperti kehamilan pada perempuan yang tidak menikah, dengan syarat tidak ada kemungkinan syubhat atau keraguan.

Standar pembuktian yang ketat ini menunjukkan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menerapkan hukuman had, sekaligus menegaskan bahwa tuduhan zina tidak boleh dilakukan sembarangan tanpa bukti yang kuat dan jelas.

Perbedaan dengan Zina Muhsan

Pemahaman perbedaan antara zina ghairu muhsan dan zina muhsan sangat penting dalam hukum pidana Islam karena menentukan jenis hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku. Kedua kategori ini memiliki karakteristik dan konsekuensi hukum yang berbeda secara fundamental.

Zina Ghairu Muhsan adalah perzinaan yang dilakukan oleh individu yang belum pernah menikah secara sah atau sudah tidak terikat pernikahan (janda/duda). Ciri-ciri pelakunya:

  1. Belum pernah menikah (masih lajang)
  2. Janda atau duda yang sudah tidak terikat pernikahan
  3. Tidak memiliki pengalaman pernikahan yang sah
  4. Hukumannya adalah cambuk seratus kali dan pengasingan satu tahun

Zina Muhsan adalah perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sedang terikat pernikahan yang sah. Karakteristiknya:

  1. Pelaku masih memiliki status sebagai suami atau istri
  2. Sudah pernah mengalami hubungan pernikahan yang sah
  3. Melakukan perselingkuhan dengan orang lain selain pasangan sah
  4. Hukumannya adalah rajam (dilempari batu hingga mati)

Melansir dari buku Jejak K.H. Zainul Mu'in (2018) karya A. Nur Khatim, perbedaan hukuman ini didasarkan pada tingkat tanggung jawab moral dan sosial pelaku. Orang yang sudah menikah dianggap memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menjaga kesucian dan kesetiaan dalam pernikahan.

Dalam Posita: Jurnal Hukum Keluarga Islam (2023) dijelaskan bahwa kategorisasi ini juga mempertimbangkan aspek psikologis dan sosial, di mana orang yang sudah menikah seharusnya memiliki kontrol diri yang lebih baik karena telah memiliki pasangan yang sah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya.

Pandangan Ulama tentang Hukuman Pengasingan

Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai hukuman pengasingan bagi pelaku zina ghairu muhsan. Perbedaan pendapat ini mencerminkan kedalaman analisis dan interpretasi terhadap nash-nash syariat yang berkaitan dengan hukuman tambahan selain cambuk seratus kali.

Pandangan Imam Abu Hanifah dan Pengikutnya:

Menurut Posita: Jurnal Hukum Keluarga Islam (2023), Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban pengasingan bagi pelaku zina ghairu muhsan. Argumentasi mereka:

  • Al-Quran Surat An-Nur ayat 2 hanya menyebutkan hukuman cambuk
  • Penambahan terhadap ketentuan nash merupakan pembatalan
  • Al-Quran tidak bisa dibatalkan oleh hadits ahad
  • Umar bin Khattab pernah menjatuhkan hukuman had tanpa pengasingan

Pandangan Imam Syafi'i:

Imam Syafi'i mewajibkan pengasingan selama satu tahun bagi semua pelaku zina ghairu muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun hamba. Dasar argumentasinya adalah hadits-hadits yang menyebutkan pengasingan sebagai bagian dari hukuman zina.

Pandangan Imam Malik dan Al-Auza'i:

Mereka membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam penerapan hukuman pengasingan:

  • Pengasingan hanya berlaku untuk pelaku zina laki-laki
  • Perempuan tidak dikenai hukuman pengasingan
  • Hamba sahaya tidak dikenai pengasingan

Melansir dari penelitian dalam jurnal yang sama, perbedaan pandangan ini dalam konteks kemaslahatan umat menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam beradaptasi dengan kondisi masyarakat, selama tidak bertentangan dengan nash yang qath'i (pasti).

Sumber

  • Muftisany, Hafidz. (2021). Jangan Dekati Zina. 
  • Aizid, Rizem. Sembuh Total dengan Wirid Asmaul Husna. 
  • Khatim, A. Nur. (2018). Jejak K.H. Zainul Mu'in. 
  • Nurdin. (2023). "Implementasi Isolasi Terhadap Pelaku Zina Ghair Muhsan (Studi Komparatif Hukum Pidana Islam)". Posita: Jurnal Hukum Keluarga Islam, Vol. 01 No. 01.
  • Fikram, Muh., Ahmad, Kamri., & Fadil, Ahmad. "Studi Perbandingan Hukum Pidana Islam Dan Hukum Positif Tentang Delik Perzinaan". Universitas Muslim Indonesia.
  • Al-Quran dan Terjemahannya
  • Islamic Criminal Law Studies and Comparative Analysis. Berbagai jurnal hukum Islam internasional.

FAQ

1. Apa yang dimaksud dengan zina ghairu muhsan?

Zina ghairu muhsan adalah tindak pidana perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum pernah menikah secara sah atau sudah tidak terikat pernikahan (janda/duda). Istilah ini berbeda dengan zina muhsan yang pelakunya masih terikat dalam pernikahan yang sah.

2. Apa hukuman untuk pelaku zina ghairu muhsan?

Hukuman untuk zina ghairu muhsan adalah cambuk sebanyak seratus kali berdasarkan Al-Quran Surat An-Nur ayat 2. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman pengasingan selama satu tahun, di mana sebagian mewajibkan dan sebagian lainnya menganggapnya tidak wajib.

3. Bagaimana cara membuktikan zina ghairu muhsan dalam Islam?

Pembuktian zina ghairu muhsan dapat dilakukan melalui tiga cara: kesaksian empat orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat, pengakuan langsung dari pelaku sebanyak empat kali (menurut Hanafi) atau sekali (menurut Syafi'i), dan qarinah atau petunjuk kuat yang tidak menimbulkan keraguan.

4. Mengapa hukuman zina ghairu muhsan berbeda dengan zina muhsan?

Perbedaan hukuman didasarkan pada tingkat tanggung jawab moral dan sosial pelaku. Orang yang sudah menikah (muhsan) dianggap memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menjaga kesucian pernikahan, sehingga mendapat hukuman rajam yang lebih berat dibanding cambuk untuk ghairu muhsan.

5. Apakah janda dan duda termasuk kategori ghairu muhsan?

Ya, janda dan duda yang sudah tidak terikat pernikahan termasuk dalam kategori ghairu muhsan. Meskipun pernah menikah, status mereka saat ini tidak terikat dalam pernikahan yang sah, sehingga jika melakukan zina akan dikenai hukuman cambuk seratus kali.

6. Siapa yang berhak melaksanakan hukuman zina ghairu muhsan?

Hukuman zina ghairu muhsan hanya dapat dilaksanakan oleh khalifah (kepala negara Islam) atau orang yang ditugasi seperti qadhi atau hakim. Pelaksanaan harus berdasarkan putusan pengadilan yang sah dengan pembuktian yang memenuhi syarat syariat.

7. Apakah ada kondisi yang dapat menggugurkan hukuman zina ghairu muhsan?

Ya, hukuman dapat gugur karena beberapa hal: pencabutan pengakuan oleh pelaku, pencabutan kesaksian oleh saksi sebelum eksekusi, hilangnya kecakapan saksi, meninggalnya saksi sebelum pelaksanaan, atau adanya pernikahan antara pelaku zina (meskipun yang terakhir ini masih diperdebatkan ulama).

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |