Apakah Panitia Qurban Berhak Mendapatkan Daging Kurban? Penjelasan Lengkap Menurut Islam

1 day ago 4

Liputan6.com, Jakarta Setiap tahun saat Hari Raya Idul Adha tiba, umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan ibadah qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Dalam pelaksanaannya, seringkali dibentuk panitia qurban yang bertugas mengurus segala hal mulai dari penyembelihan hingga pembagian daging. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah panitia qurban berhak mendapatkan daging kurban dari hewan yang mereka sembelih dan urus?

Pertanyaan mengenai apakah panitia qurban berhak mendapatkan daging kurban ini kerap menimbulkan kebingungan di masyarakat. Beberapa orang berpendapat bahwa panitia berhak mendapat bagian sebagai imbalan atas jerih payah mereka, sementara yang lain merasa hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Untuk menjawab dilema ini, kita perlu merujuk pada dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW.

Pembahasan tentang apakah panitia qurban berhak mendapatkan daging kurban menjadi sangat relevan mengingat banyaknya masjid dan komunitas Muslim yang mengorganisir kegiatan qurban secara kolektif. Dengan memahami hukum yang benar mengenai apakah panitia qurban berhak mendapatkan daging kurban, kita dapat menjalankan ibadah ini sesuai dengan tuntunan agama dan menghindari kesalahan yang dapat mengurangi nilai ibadah kita.

Berikut penjelasan lengkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum pada Jumat (30/5).

Usai salat Ied, waktunya pemotongan hewan kurban dilakukan untuk langsung disalurkan ke kaum dhuafa yang membutuhkan. Antrean panjang hingga penggunaan bahan alami pengganti plastik menjadi bagian dalam pelaksanaan penyaluran hewan kurban kali ini.

Hukum Panitia Qurban Mendapat Daging Menurut Hadis

Untuk memahami kedudukan panitia qurban dalam menerima daging, kita perlu merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib RA. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan Ali untuk mengurus qurban beliau dan membagikan seluruh bagian hewan tersebut kepada orang-orang miskin.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim:

"إن علي بن أبي طالب حدثه أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يقوم على بدنه وأن يقسم بدنه كله لحمه وجلده وجلاله في المساكين ولا يعطي في جزارتها شيئا"

Artinya: "Sungguh Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa Nabiyullah SAW memerintahkan agar ia melaksanakan qurban Nabi dan memerintahkan pula agar ia membagikan semuanya dagingnya, kulitnya dan pakaiannya pada orang-orang miskin dan beliau pun agar tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban dalam pekerjaan jagal." (HR. Muslim)

Berdasarkan hadis ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menegaskan bahwa panitia tidak boleh mengambil upah berupa daging dari hewan yang diqurbannya. Namun, mereka bisa membebankan upah tersebut kepada orang yang berqurban dengan cara musyawarah atau mengambil dari sumber lain seperti harta pribadi. Hal ini diperkuat dengan hadis riwayat Abu Dawud yang menyebutkan bahwa upah jagal diberikan dari harta pribadi, bukan dari hasil qurban.

Perbedaan Antara Upah dan Sedekah dalam Pemberian Daging

Islam membedakan secara tegas antara pemberian daging qurban sebagai upah dan sebagai sedekah. Menurut penjelasan para ulama, memberikan daging qurban kepada panitia sebagai upah atas jasa mereka adalah haram karena hal tersebut bermakna seperti jual beli. Namun, jika daging diberikan dengan niat sedekah, maka hal tersebut diperbolehkan.

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Ibni Qasim menjelaskan:

"ويحرم أيضا جعله أي شيئ منها أجرة للجزار لأنه في معنى البيع ولو كانت الأضحية تطوعا فإن أعطى للجزار لا على سبيل الأجرة بل على سبيل التصدق جزءا يسيرا من لحمها نيئا لا غيره كالجلد مثلا، ويكفي الصرف لواحد منهم، ولا يكفي على سبيل الهدية"

Artinya: "(Menjadikannya) salah satu bagian dari qurban (sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna 'jual', (meskipun itu ibadah qurban sunnah). Jika qurbanis memberikan sebagian daging qurban mentah, bukan selain daging seperti kulit, kepada penjagal bukan diniatkan sebagai upah, tetapi diniatkan sebagai sedekah [tidak masalah]. Pemberian daging qurban kepada salah satu dari penjagal itu memadai, tetapi pemberian daging kepada penjagal tidak memadai bila diniatkan hadiah."

Pendapat yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Al-Baijuri yang membolehkan pemberian daging qurban kepada panitia baik sebagai sedekah maupun hadiah, asalkan bukan sebagai upah. Beliau menegaskan bahwa yang terpenting adalah niat pemberian tersebut bukan sebagai imbalan jasa, melainkan sebagai bentuk kedermawanan atau bantuan.

Golongan yang Berhak Menerima Daging Qurban

Dalam Islam, daging qurban harus dibagikan kepada tiga golongan utama sesuai dengan ketentuan syariat. Pembagian ini penting dipahami untuk memastikan bahwa panitia qurban yang menerima daging berada dalam kategori yang tepat dan dengan niat yang benar.

Golongan pertama adalah shohibul qurban atau orang yang melaksanakan ibadah qurban itu sendiri. Mereka dianjurkan untuk memakan maksimal sepertiga dari daging qurbannya, kecuali jika qurban tersebut dilaksanakan atas dasar nazar, maka shohibul qurban tidak boleh mengambil sedikit pun dari hasil sembelihan. Golongan kedua adalah fakir miskin, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Hajj ayat 28 dan 36 yang memerintahkan untuk memberikan daging kepada orang-orang yang membutuhkan.

"فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير"

Artinya: "Maka makanlah darinya dan berikan kepada orang yang fakir lagi kesusahan." (QS. Al-Hajj: 28)

Golongan ketiga adalah tetangga, teman, dan kerabat, baik yang kaya maupun miskin. Namun, terdapat perbedaan hak antara orang kaya dan miskin dalam menerima daging qurban. Orang miskin memiliki hak tamlik atau kepemilikan penuh atas daging yang diterima, sehingga mereka boleh memanfaatkannya secara bebas. Sementara orang kaya hanya diperbolehkan menerima daging untuk dikonsumsi dan disuguhkan kepada orang lain, namun tidak boleh menjualnya.

Ketentuan Khusus untuk Panitia Qurban

Berdasarkan analisis mendalam terhadap dalil-dalil syariat, panitia qurban memiliki kedudukan khusus dalam menerima daging qurban. Status mereka sebagai wakil dari shohibul qurban, bukan sebagai amil atau petugas resmi, menentukan bagaimana mereka boleh menerima bagian dari hewan qurban. Jika tidak ada kesepakatan upah sejak awal, maka pemberian daging kepada panitia tidak dianggap sebagai upah.

Menurut Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam, tukang jagal atau panitia tidak boleh diberi daging atau kulit sebagai bentuk upah atas pekerjaannya berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika mereka termasuk orang kaya, atau sebagai sedekah jika mereka adalah orang miskin. Prinsip ini berlaku untuk semua anggota panitia qurban tanpa kecuali.

Bagi panitia qurban yang miskin atau membutuhkan, mereka boleh menerima daging qurban atas nama sedekah dengan hak kepemilikan penuh. Sedangkan bagi panitia yang mampu atau kaya, mereka boleh menerima atas nama ith'am (pemberian makanan dalam rangka syiar ibadah qurban) dengan keterbatasan pemanfaatan. Yang terpenting adalah niat pemberi harus jelas bahwa pemberian tersebut bukan sebagai imbalan jasa, melainkan sebagai bentuk kedermawanan dalam rangka menyempurnakan ibadah qurban.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |