Liputan6.com, Jakarta - Ibadah kurban adalah salah satu syariat Islam yang sangat dianjurkan bagi umat Muslim yang mampu, khususnya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik.
Setiap tahun, banyak masjid dan lapangan terbuka ramai dengan kegiatan penyembelihan hewan kurban. Selain itu, ada beberapa orang yang turut terlibat dan bekerja keras dalam kegiatan tersebut.
Di antaranya panitia kurban, petugas kebersihan, hingga para tukang jagal yang bertugas menyembelih dan memotong hewan. Peran mereka sangat penting agar proses kurban berjalan lancar, sesuai syariat, dan tetap menjaga kenyamanan lingkungan sekitar.
Namun, dalam praktiknya orang yang berkurban sering kali memberikan upah berupa daging kurban kepada tukang jagal atau tim yang membantu proses penyembelihan.
Lantas, bolehkah tukang jagal menerima daging kurban sebagai bentuk upah atas jasanya? Berikut penjelasannya mengutip dari laman NU Online Jabar, pada Kamis (29/5/2025).
Saksikan Video Pilihan ini:
Aksi Kocak Pak Bhabin Nyanyi dan Joget Bareng Mbah-mbah di Posyandu Lansia
Hukum Upah dan Daging Kurban Sebagai Upah
Orang yang berkurban diperbolehkan memberi atau membayar upah kepada tukang jagal atau tim yang mengurusi hewan kurban. Namun kebolehan di sini, dibayar dengan harta yang lain bukan dengan daging hewan yang dikurbankan. Tetapi jika orang yang berkurban itu memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada panitia kurban yang merangkap tim jagal dengan niat sedekah, maka pemberian itu tidak dilarang atau diperbolehkan.
Syekh M Ibrahim Al-Baijuri berpendapat, orang yang berkurban dilarang memberikan sesuatu dari hewan kurban kepada tim jagal dengan niat sebagai upah mereka. Kalau pemberian itu diniatkan sebagai sedekah atau hadiah untuk mereka, maka hal itu tidak masalah.
“(Menjadikan [daging kurban] sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’. Jika kurbanis memberikannya kepada penjagal bukan dengan niat sebagai upah, tetapi niat sedekah, maka itu tidak haram. Ia boleh menghadiahkannya dan menjadikannya sebagai wadah air, khuff (sejenis sepatu kulit), atau benda serupa seperti membuat jubah dari kulit, dan ia boleh meminjamkannya. Tetapi menyedekahkannya lebih utama,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 311).
Imam Nawawi juga mengatakan, berbagai macam teks redaksional dalam mazhab Syafi'i menyatakan bahwa menjual atau menjadikan upah hewan kurban yang meliputi daging, kulit, tanduk, dan rambut, semuanya dilarang.
“Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi'i dan para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya.
Dalam literatur yang lain juga menyebut bahwa tidak diperbolehkannya daging hewan kurban sebagai upah
“Haram menghilangkan atau menjual sesuatu yang termasuk bagian dari hewan kurban sunah dan hadyu, dan haram pula memberi upah tukang jagalnya dengan sesuatu yang menjadi bagian hewan kurban tersebut. Tetapi biaya tukang jagal menjadi beban pihak yang berkurban dan yang ber-hadyu sebagaimana biaya memanen”. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, hlm. 545)
Landasan Dilarangnya Daging Kurban sebagai Upah
Tidak diperbolehkannya daging kurban sebagai upah untuk tukang jagal atau yang lainnya, karena ibadah kurban adalah ibadah pengorbanan dengan mengeluarkan kurbannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga tidak boleh menarik kembali hewan tersebut untuk upah. Maka dari itu sebagian daging hewan kurban wajib dibagikan kepada sesama dan sebagiannya sunnah di makan oleh keluarga dengan tujuan untuk mengharap berkah (tabarruk).
وَلِأَنَّهُ إنَّمَا أَخْرَجَ ذلك قُرْبَةً فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ إلَيْهِ إلَّا ما رُخِّصَ لَهُ فِيهِ وَهُوَ الْأَكْلُ وَخَرَجَ بِأَجْرِهِ إعْطَاؤُهُ منه لِفَقْرِهِ وَإِطْعَامُهُ مِنْهُ إنْ كان غَنِيًّا فَجَائِزَانِ
“Karena ia (orang yang berkurban) mengeluarkan kurbannya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah (ibadah). Maka ia tidak boleh menarik kembali kurbannya kecuali apa yang telah diperbolehkan yaitu memakannya” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudlath-Thalib, juz, I, hlm. 545)
Dengan kata lain, jika orang yang berkurban mengambil daging atau kulit hewan kurbannya untuk diberikan kepada penjagal sebagai upahnya, maka ia sama saja menarik kembali hewan kurbannya. Karena ada bagian yang diambil untuk membayar penjagalnya. Padahal hewan kurban itu disembelih dalam rangka beribadah kepada Allah.