Hukum Aqiqah dalam Islam, Ketahui Waktu Pelaksanaan dan Menu yang Disunnahkan

3 days ago 18

Liputan6.com, Jakarta Aqiqah merupakan ibadah yang dianjurkan dalam Islam sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran seorang anak. Ibadah ini dilakukan dengan menyembelih hewan ternak, biasanya kambing atau domba. Hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah, yang berarti sangat dianjurkan bagi umat Muslim yang mampu melaksanakannya.

"Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya" (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya).

Dalam buku Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, dijelaskan bahwa aqiqah adalah bentuk syukur atas karunia Allah SWT berupa anak. Aqiqah juga menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi dengan berbagi kebahagiaan kepada keluarga, tetangga, dan kaum dhuafa. Tradisi ini telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan menjadi bagian dari ajaran Islam yang kaya akan makna.

Tak hanya makna aqiqah, aturan pelaksanaanya harus dilakukan sesuai ajaran islam. Berikut Liputan6.com ulas lengkap tentang aqiqah dan penjelasannya dirangkum dari berbagai sumber, Minggu (6/7/2025).

Pengantin baru umumnya mendapat amplop uang maupun kado di hari pernikahannya. Namun pengalaman berbeda justru dialami pengantin berikut. Rekan-rekan pengantin justru datang membawa hadiah berupa anak kambing. Momen viral dan mengundang komentar kela...

Pengertian Aqiqah Anak dan Dalil Pelaksanaannya

Pengertian Aqiqah Secara Bahasa

Aqiqah adalah salah satu syariat Islam yang erat kaitannya dengan kelahiran anak. Secara bahasa, ‘aqiqah berasal dari bahasa Arab al-‘aqq yang berarti “memotong”. Menurut Imam Ibn Qudamah dalam kitab Al-Mughni, aqiqah adalah sembelihan hewan pada hari ketujuh setelah kelahiran anak sebagai syukur kepada Allah SWT.

Dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, aqiqah adalah amalan yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), terutama bagi orang tua yang mampu. Pelaksanaan aqiqah menjadi sarana mengenalkan anak kepada nilai-nilai tauhid sejak awal kehidupannya.

Dalil Pelakasanaan Aqiqah

Dalil pelaksanaan aqiqah bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam Sunan Abu Dawud (no. 2838), Rasulullah bersabda: “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” Hadis ini menjadi landasan utama bagi umat Islam dalam mengamalkan ibadah aqiqah.

Dalam Buku Panduan Lengkap Ibadah Muslim Sehari-hari karya Drs. H. Abdul Somad, M.Ag, aqiqah memiliki nilai sosial dan spiritual. Selain sebagai rasa syukur kepada Allah, pembagian daging aqiqah kepada keluarga, tetangga, dan fakir miskin juga mempererat tali silaturahmi.

Jurnal Ilmu Syariah UIN Sunan Kalijaga edisi tahun 2018 oleh Hasyim Subadi, menyebutkan bahwa aqiqah tidak hanya dilihat sebagai ritual ibadah, namun juga memiliki dimensi budaya yang kuat di berbagai daerah di Indonesia. Aqiqah sering kali disertai doa bersama, pembacaan Al-Qur’an, serta pemberian nama anak sebagai bagian dari proses spiritual dan sosial.

Menghitung Waktu Melaksanakan Aqiqah Anak dari Berbagai Pendapat

Aqiqah merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak. Waktu pelaksanaan aqiqah telah menjadi pembahasan penting dalam fikih Islam, dengan berbagai pendapat dari para ulama yang merujuk pada hadis dan pendapat sahabat Nabi.

Hari Ketujuh

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa waktu terbaik untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran anak. Pendapat ini merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud, no. 2838; Tirmidzi, no. 1522)

Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu, aqiqah dianjurkan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Jika tidak mampu, dapat dilakukan pada hari keempat belas atau kedua puluh satu. Jenis hewan yang disembelih adalah kambing atau domba. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan satu ekor kambing, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Ummu Kurz Al-Ka'biyyah.

Imam An-Nawawi dalam "Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab" menjelaskan bahwa hari ketujuh dihitung dari hari kelahiran sebagai hari pertama. Jadi, jika anak lahir pada hari Senin, maka aqiqah dilaksanakan pada hari Ahad berikutnya.

Hari ke-14 atau ke-21

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dijelaskan dalam kitab "Al-Mughni" karya Ibnu Qudamah, jika tidak bisa dilakukan pada hari ketujuh, maka boleh dilakukan pada hari ke-14 atau ke-21. Pendapat ini lebih longgar terhadap kemampuan finansial orang tua.

Beberapa ulama kontemporer menekankan fleksibilitas waktu pelaksanaan aqiqah. Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam bukunya "Fiqh al-Awlawiyyat" menyatakan bahwa aqiqah bisa dilakukan kapan saja jika memang ada kendala, termasuk faktor ekonomi.

Tidak Dianggap Wajib

Dalam mazhab Hanafi, aqiqah tidak dianggap wajib, melainkan sunnah. Karenanya, waktu pelaksanaan tidak dipatok secara ketat. Dalam kitab "Al-Hidayah" karya Al-Marghinani, disebutkan bahwa aqiqah adalah sunnah dan tidak mengapa jika tidak dilakukan pada hari ketujuh.

Aqiqah merupakan ibadah sunnah muakkad yang disyariatkan bagi umat Islam saat menyambut kelahiran anak. Salah satu elemen penting dalam pelaksanaan aqiqah adalah menyembelih hewan dan menyajikan dagingnya. Dalam pelaksanaannya, terdapat anjuran terkait menu yang disunnahkan untuk disajikan.

Dalam kitab Subul as-Salam karya Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, dijelaskan bahwa daging aqiqah dianjurkan untuk dimasak terlebih dahulu sebelum dibagikan, berbeda dengan daging kurban yang lebih utama untuk dibagikan dalam keadaan mentah. Hal ini merujuk pada hadits dari Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqi: "Disunnahkan memasak daging aqiqah lalu dibagikan." 

Hal senada ditegaskan dalam kitab al-Majmu' karya Imam Nawawi. Ia menyebut bahwa daging aqiqah sebaiknya dimasak dan dibagikan kepada kerabat, tetangga, serta fakir miskin, tanpa membedakan status mereka. Imam Nawawi juga menambahkan bahwa "makanan yang dimasak dari aqiqah bisa menjadi sarana kebersamaan dan syiar kebaikan." 

Menurut Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaili, penyajian daging aqiqah dapat berupa berbagai olahan sesuai tradisi setempat, selama tidak mengandung unsur yang diharamkan. Di beberapa masyarakat Muslim, olahan seperti gule kambing, sate, atau sup daging menjadi pilihan umum.

Jurnal Aqiqah dalam Perspektif Hukum Islam oleh Muhammad Yusuf (Jurnal Ilmiah Al-Muqaddimah, 2019) menyebut bahwa menu aqiqah yang disunnahkan juga memperhatikan unsur kearifan lokal dan kebersamaan. Dalam penelitiannya di beberapa pesantren di Jawa Barat, Yusuf mencatat bahwa menu nasi kebuli, tumpeng, hingga rendang sering menjadi alternatif yang diterima luas oleh masyarakat.

Dalam buku Aqiqah dan Implementasinya dalam Masyarakat Modern karya Ahmad Zahro, dijelaskan bahwa memasak daging aqiqah bertujuan agar penerima langsung dapat menikmatinya tanpa harus bersusah payah mengolah kembali. Ini menjadi bentuk pelayanan dan perhatian terhadap sesama.

Tata Cara Aqiqah

Dalam kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, disebutkan bahwa Aqiqah merupakan syariat yang sangat dianjurkan, berdasarkan hadis Nabi SAW: "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya" (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya).

1. Penyembelihan Kambing

Penyembelihan hewan merupakan inti dari Aqiqah. Berdasarkan kitab Subulus Salam karya Imam Ash-Shan’ani, disebutkan bahwa untuk anak laki-laki disunnahkan dua ekor kambing, dan satu ekor untuk anak perempuan. Hal ini juga ditegaskan dalam hadis sahih riwayat Abu Dawud: "Disembelihkan untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang seimbang dan untuk anak perempuan satu ekor."

Syarat kambing Aqiqah sama dengan hewan kurban: sehat, tidak cacat, dan cukup umur. Dalam buku Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq, disebutkan bahwa waktu penyembelihan yang paling utama adalah pada hari ketujuh sejak kelahiran, namun boleh juga dilakukan setelah itu jika belum mampu.

2. Mencukur Rambut Bayi

Mencukur rambut bayi pada hari ketujuh juga bagian dari sunnah. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dijelaskan bahwa rambut yang dicukur kemudian ditimbang dan disedekahkan nilai peraknya kepada fakir miskin.

Ini didasarkan pada hadis Nabi SAW saat mencukur rambut Hasan bin Ali: "Wahai Fathimah, cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya." (HR. al-Baihaqi)

3. Memberi Nama Bayi

Pemberian nama bisa dilakukan sejak hari pertama kelahiran, tetapi yang utama dilakukan pada hari ketujuh bersamaan dengan Aqiqah. Dalam buku Adab al-Mufrad oleh Imam al-Bukhari, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberi nama anak-anak sahabat pada hari ketujuh, bahkan mengganti nama yang tidak baik dengan yang lebih baik.

Pemberian nama menjadi bagian penting karena nama mengandung doa dan harapan. Ulama menyarankan memilih nama yang baik dan bermakna, seperti nama nabi, sahabat, atau sifat-sifat mulia.

4. Distribusi Daging Aqiqah

Menurut kitab al-Majmu’ karya Imam Nawawi, daging Aqiqah boleh dimasak dan dibagikan kepada tetangga dan fakir miskin. Tidak disyaratkan untuk dibagikan dalam keadaan mentah seperti dalam kurban. Dianjurkan juga mengundang kerabat untuk makan bersama sebagai bentuk syiar dan kebersamaan.

Lebih Dulu Qurban Atau Aqiqah?

Qurban adalah penyembelihan hewan pada Idul Adha sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Hukum qurban menurut mayoritas ulama, seperti yang dijelaskan dalam Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi yang mampu. 

Sementara itu, aqiqah adalah penyembelihan hewan sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak. Menurut Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H), aqiqah juga merupakan sunnah muakkadah. Imam Malik bahkan menyatakan bahwa aqiqah adalah wajib dalam satu pendapatnya, meskipun pendapat ini tidak populer. 

Pendapat Ulama: Mana yang Didahulukan? 

Beberapa ulama membahas prioritas antara dua ibadah ini. Dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, beliau menjelaskan bahwa aqiqah lebih spesifik sifatnya karena terkait langsung dengan anak yang lahir, sedangkan qurban bersifat umum dan tahunan. 

Namun, dalam Majmu’ Fatawa oleh Syaikh Ibnu Baz, disebutkan bahwa jika seseorang belum pernah melakukan aqiqah untuk anaknya hingga dewasa dan ingin berqurban, maka qurban lebih diutamakan saat Idul Adha. Aqiqah bisa dilakukan di waktu lain. Ibnu Baz menekankan bahwa waktu qurban sangat terbatas (10–13 Dzulhijjah), sedangkan aqiqah bisa kapan saja. 

Penting pula dikutip pandangan dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Liqa’at al-Bab al-Maftuh. Ia menyatakan bahwa jika seorang tua belum mengaqiqahi anaknya karena keterbatasan dana, lalu pada saat Idul Adha memiliki rezeki, lebih utama digunakan untuk qurban, karena waktunya mendesak dan lebih luas manfaatnya secara sosial.

Pendekatan Sosial dan Keutamaan 

Dalam konteks sosial, qurban memiliki dimensi kemasyarakatan yang lebih luas. Seperti disebutkan dalam jurnal "Ritual Qurban dan Aqiqah dalam Perspektif Sosial Islam" (Nur Aini, Jurnal Al-Adyaan, 2018), qurban menjangkau masyarakat luas karena dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, sementara aqiqah lebih terbatas pada keluarga dan kerabat. 

Namun, dalam situasi tertentu, seperti jika orang tua merasa belum menjalankan tanggung jawab aqiqah untuk anaknya, hal ini bisa menjadi prioritas emosional dan spiritual. Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Salih al-Fauzan dalam Al-Mulakhkhas al-Fiqhi, bahwa aqiqah adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah atas nikmat kelahiran anak dan merupakan tanggung jawab orang tua. 

Kesimpulan 

Jika seseorang memiliki kemampuan terbatas dan harus memilih satu, maka sebagian besar ulama kontemporer menyarankan mendahulukan qurban, terutama bila waktunya bertepatan dengan Idul Adha. Aqiqah bisa dilakukan kemudian. 

Namun jika waktu qurban belum tiba, dan anak lahir saat itu, maka aqiqah dapat didahulukan sesuai dengan waktunya yang lebih fleksibel (hari ke-7, ke-14, ke-21 atau kapan pun setelahnya), sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Tirmidzi dan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’

QnA Seputar Aqiqah

1. Kenapa kita dianjurkan melaksanakan aqiqah?

Aqiqah adalah bentuk rasa syukur kepada Allah atas kelahiran anak dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, aqiqah menjadi sarana untuk mendoakan kebaikan dan perlindungan bagi anak dari gangguan setan, serta mempererat silaturahmi dengan berbagi makanan kepada kerabat dan tetangga.

2. Apakah aqiqah hanya untuk anak-anak saja?

Pada dasarnya, aqiqah dilakukan saat anak masih bayi. Namun, jika belum diaqiqahkan ketika kecil karena kondisi tertentu, seseorang boleh melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri ketika dewasa sebagai bentuk kesunnahan.

3. Apakah aqiqah boleh digabung dengan qurban?

Mayoritas ulama tidak membolehkan niat aqiqah dan qurban digabung dalam satu hewan sembelihan karena keduanya memiliki niat dan hukum yang berbeda. Lebih baik dilakukan secara terpisah agar mendapatkan keutamaan masing-masing.

4. Apakah anak yang sudah diaqiqahkan tetap wajib qurban saat dewasa?

Ya, karena aqiqah dan qurban adalah ibadah yang berbeda. Aqiqah dilakukan sebagai syukur atas kelahiran, sedangkan qurban dilakukan saat Idul Adha bagi yang mampu sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah.

5. Apakah orang tua boleh memakan daging aqiqah anaknya?

Boleh, bahkan dianjurkan memasak daging aqiqah dan memakannya bersama keluarga, serta membagikannya kepada kerabat, tetangga, dan orang miskin dalam keadaan matang, sebagai bentuk syiar dan berbagi keberkahan.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |