Kisah di Balik Larangan Menikah di Bulan Suro, Begini Penjelasan Budayawan NU Ahmad Tohari

10 hours ago 3

Liputan6.com, Cilacap - Bulan Suro, atau yang juga dikenal sebagai bulan Muharram dalam kalender Islam, telah lama menjadi bulan yang sangat sakral dan penuh dengan makna spiritual dalam budaya Jawa, hingga 2025 ini.

Di bulan Suro ini, banyak orang Jawa yang melakukan ritual spiritual, seperti berpuasa, berdoa, dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya. Namun, di balik kesakralan bulan ini, terdapat sebuah tradisi yakni tentang larangan menikah di bulan Suro.

Tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad dan diyakini oleh banyak orang Jawa sebagai sebuah keyakinan yang harus dihormati. Namun, banyak juga yang mempertanyakan alasan di balik larangan menikah di Bulan Suro. Apakah ada penjelasan logis atau historis yang dapat membenarkan tradisi ini? Apakah ada kaitannya dengan ajaran Islam atau hanya sekedar tradisi budaya?

Dalam kesempatan ini, kita akan membahas penjelasan dari Budayawan NU, Ahmad Tohari tentang alasan di balik larangan menikah di Bulan Suro. Ahmad Tohari, sebagai seorang budayawan yang sangat memahami budaya dan tradisi Jawa, dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang makna di balik tradisi ini.

Dengan memahami latar belakang dan konteks tradisi ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang budaya dan spiritualitas Jawa. Kita juga dapat mengetahui apakah tradisi larangan menikah di bulan Suro ini masih relevan dengan kehidupan modern saat ini atau sudah saatnya untuk ditinggalkan.

Simak Video Pilihan Ini:

Banjir dan Longsor Terjang Cilacap, 1 Orang Tewas Belasan Rumah Rusak

Mengapa Dilarang Menikah di Bulan Suro?

Mencuplik dompetdhuafa.org, Jumat (27/6/2025), ketika tanggal 1 Suro tiba, masyarakat Jawa akan melaksanakan ritual untuk menyambut kedatangan Bulan Muharram yang dalam penanggalan Jawa disebut dengan Bulan Suro atau Suran. Masyarakat Jawa telah melaksanakan tradisi ini sejak Zaman Mataram Islam di masa pemerintahan Sultan Agung. Kalender Jawa lahir di masa pemerintahan sang raja dan bermula dari tahun Saka agama Hindu yang kemudian disesuaikan dengan Tahun Baru Islam Hijriah, tepatnya pada tahun 1633 M atau 1555 dalam kalender jawa.

Malam 1 Suro memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena masyarakat Jawa memandang nilai-nilai spiritual dan mistik ada dalam pergantian tahun baru Jawa dan ini mereka jadikan salah satu acuan dalam mengarungi kehidupan.

Kedua, masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa malam satu suro merupakan malam keramat atau sakral, apalagi jika bertepatan dengan hari Jumat. Sebab secara kasat mata, dalam Bulan Suro terdapat momen di mana seluruh gerbang gaib terbuka. Pergantian tahun dianggap waktu bertemunya dunia gaib dan dunia manusia dalam kosmologi orang Jawa. Untuk itu, banyak masyarakat Jawa yang melakukan interaksi khusus dengan makhluk gaib sesuai kepercayaan mereka, sehingga dijuluki sebagai bulan keramat.

Ketiga, Bulan Suro bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai bulan prihatin. Oleh karenanya, tidaklah tepat menggelar pesta di bulan prihatin, karena diyakini akan berakibat tidak baik jika dilanggar. Demi mendapat keselamatan pada Bulan Suro, alih-alih menggelar pesta, masyarakat Jawa lebih dianjurkan untuk menggelar tirakatan atau mendekatkan diri kepada Tuhan.

Budayawan Ahmad Tohari menyebut bahwa Bulan Suro dianggap bulan prihatin oleh masyarakat Jawa lantaran terkait dengan tragedi Karbala yang menewaskan cucu kesayangan Nabi Muhammad Saw, yakni Husain Ali bin Abi Thalib. Akibat peristiwa tersebut kemudian larangan menggelar hajatan pada Bulan Suro muncul, sebagai bentuk penghormatan atas meninggalnya dua cucu kesayangan Rasulullah Saw.

Apakah Islam juga Melarangnya?

Melalui Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36, Allah menerangkan bahwa ada 12 bulan yang hadir dalam kehidupan manusia di dunia. Di antara ke-12 bulan itu, terdapat 4 bulan yang disebut sebagai bulan haram oleh-Nya. Keempat bulan tersebut adalah Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab. Penafsiran ini sesuai dengan apa hadis Rasul yang berbunyi:

Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar), sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharram. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Meski demikian, bukan berarti bulan selain Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab adalah bulan tidak baik. Pada intinya semua waktu baik bagi kita, dan kita bisa melangsungkan hajat apa pun setiap harinya, termasuk pernikahan. Dalam syariat Islam, tak ada hari tertentu yang dilarang untuk melangsungkan pernikahan. Dalam syariat Islam tidak ada nash yang membahas tentang penentuan hari, bulan, dan tahun tertentu untuk melaksanakan pernikahan, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadis.

Selain itu, tidak ada pula nash yang melarang seseorang melangsungkan pernikahan di bulan-bulan tersebut. Sebab, pernikahan merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan oleh Allah Swt sebagaimana tercantum dalam surah An-nur ayat 32. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw juga menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan apabila umat muslim telah memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |