Liputan6.com, Jakarta - Dalam kehidupan sosial, kerap dijumpai stigma atau penilaian sepihak terhadap seseorang hanya karena latar belakang keluarga atau orang tuanya. Padahal, dalam Islam, setiap individu dinilai berdasarkan amal dan keimanannya sendiri, bukan karena garis keturunan.
Sikap cepat menghakimi dan mewariskan label kepada anak-anak dari orang tua yang dianggap kafir menjadi kebiasaan yang keliru. Stigma seperti itu justru bertentangan dengan ajaran yang diteladankan Rasulullah.
Ulama alim alamah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha menegaskan bahwa dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah mengecap anak-anak kaum kafir sebagai kafir secara otomatis.
Menurut Gus Baha, Nabi justru berharap anak keturunan dari orang-orang yang menentang Islam suatu saat bisa mendapat hidayah dan menjadi bagian dari umat yang beriman.
“Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa semua kemungkinan itu mungkin,” kata Gus Baha dalam salah satu pengajiannya yang membahas pentingnya berpikir jernih dalam menilai seseorang, dikutip Kamis (3/7/2025).
Simak Video Pilihan Ini:
Mengenang Pahlawan Musik Didi Kempot, The Lord of Ambyar
Fenomena di Indonesia Lebih Unik
Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @gusbahavoice, Gus Baha menjelaskan bahwa saat kafir Quraisy ingin dihukum malaikat karena menyakiti Nabi, Rasulullah justru melarangnya.
Kala itu, Nabi menyampaikan harapannya, bahwa meski orang tua mereka kafir, ada kemungkinan besar anak keturunan mereka akan menerima hidayah dan menjadi mukmin.
Contoh tersebut, menurut Gus Baha, menjadi pelajaran penting bagi umat Islam untuk tidak mudah melabeli seseorang hanya berdasarkan silsilah atau keluarganya.
Ia menyoroti fenomena di Indonesia yang sangat unik, di mana banyak anak justru melampaui pencapaian orang tuanya dalam hal ilmu dan keimanan.
“Di Indonesia lebih hebat lagi. Bapake ra iso moco Quran, anake hafidz. Bapake ra tamat SD, anaknya jadi dekan,” ujar Gus Baha sambil tersenyum.
Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah bisa turun kepada siapa pun tanpa melihat asal-usul keluarga. Maka dari itu, sikap merendahkan keturunan orang kafir adalah bentuk kedangkalan dalam memahami agama.
Teori Itu Sudah Gugur Sejak Zaman Rasulullah
Banyak tokoh besar yang lahir dari latar belakang keluarga biasa, bahkan dari keluarga yang dulu menentang dakwah Islam. Tapi anak-anak mereka tumbuh menjadi pejuang kebenaran.
“Di Indonesia banyak orang gak siapa-siapa, anaknya jadi presiden, anaknya jadi menteri,” lanjut Gus Baha, menekankan pentingnya memberi ruang bagi setiap orang untuk berkembang.
Ia mengingatkan bahwa teori mewarisi kekafiran karena garis keturunan sudah gugur sejak zaman Rasulullah. Islam memandang manusia berdasarkan usahanya dalam mencari kebenaran, bukan dari siapa orang tuanya.
Gus Baha juga mengajak umat untuk lebih bijak dalam bersikap, terutama dalam konteks dakwah. Menyampaikan kebenaran dengan bijak jauh lebih bermanfaat dibandingkan melabeli dan menghakimi.
Dengan pemahaman yang benar, setiap muslim bisa menjadi jembatan hidayah bagi sesamanya, bukan malah menjadi penghalang hanya karena prasangka dan fanatisme buta.
Pandangan Gus Baha ini menjadi pengingat agar umat Islam tidak mudah jatuh pada sikap eksklusif, tetapi tetap terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan hidayah yang bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja.
Sikap seperti inilah yang mencerminkan kematangan iman dan kecintaan sejati terhadap ajaran Rasulullah yang penuh rahmat dan pengharapan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul