Liputan6.com, Jakarta - Di Indonesia, di antara ulama madzhab, Imam Syafi'i adalah yang paling populer dan banyak dijadikan rujukan untuk praktik ibadah dan amalan sehari-hari. Biografi Imam Syafi'i banyak dicari karena banyaknya penganut Madzhab Syafi'i di seluruh penjuru Tanah Air.
Imam Syafi'i merupakan ulama mujtahid (ahli ijtihad) di bidang fiqih. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah.
Imam Syafi'i yang bernama asli Abu Abdulllah Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i adalah seorang ulama progresif. Imam Syafi'i lah yang memperkenalkan kaidah ushul fiqih.
Ini merupakan prinsip dasar madzhab Syafi'i untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah. Kaidah ini menerapkan dua prinsip sekaligus, fiqih rasional dan tradisional.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam catatan Syekh Zainuddin al-Malibari di Fathul Mu'in memuji Imam Syafi'i sebagai ulama yang berpengetahuan sangat luas. Masalah apapun yang dia tidak diketahui dalilnya maka akan merujuk pendapat Imam Syafi'i.
"Masalah apapun yang aku tidak mengetahui dalilnya, maka aku berpegang dengan pendapatnya Imam Syafi’i," demikian tertulis di Fathul Mu'in, dikutip Senin (18/8/2025).
Dalam berbagai kesempatan, beberapa ulama besar lain juga merujuk pendapatnya. Di antaranya adalah Al-Muzani (muridnya) dan Muslim bin Khalid Az-Zanji (gurunya), yang menunjukkan kedalaman pandangan Imam Syafi'i.
Berikut ini adalah biografi Imam Syafi'i, meliputi awal kehidupan, pendidikan, kiprah, karya, hingga wafatnya, merangkum berbagai referensi.
1. Awal Kehidupan Imam Syafi'i dan Latar Belakang Keluarga
Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengahpada tahun 150 H/767 M. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah.
Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ialebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi’i. Kata Syafi’i dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i ibn al-Saib.
Ayahnya bernama Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn al-Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf, kakek Nabi SAW yang ketiga.
Sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy.
Dengan pertalian tersebut di atas, Imam Syafi’i menganggap dirinya dari orang yang dekat kepada Rasulullah saw. Bahkan beliau dari keturunan Zawil Kubra yang berjuang bersama dengan Rasulullah saw. Di zaman Jahiliyah dan Islam.
Mereka bersama dengan Rasulullah juga semasa orang Quraisy mengasingkan Rasulullah mereka bersama turut menanggung penderitaan bersama-sama Rasulullah. Keluarga Imam Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang dihalau dari negerinya. Mereka hidup dalam perkampungan yang nyaman.
Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama- ulama hadits yang banyak terdapat di Makkah.
Imam Syafi'i terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan tulang unta untuk ditulis di atasnya. Kadangkala beliau pergi ke tempat-tempatperkumpulan orang banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.
2. Pendidikan Imam Syafi’i
Imam Syafi'i mula-mula belajar dengan Muslim bin Khalid al-Zinji, kemudian beliau melanjutkan pengembarannya ke Madinah, di mana menemui Imam Malik untuk minta izin agar diperkenankan meriwayatkan hadits-haditsnya. Sebelum Imam Malik mengizinkannya, Imam Syafi’i sempat ditest untuk membacakan kitabal-Muwatta’ di hadapannya, kemudian beliau membacanya di luar kepala.
Setelah belajar kepada Imam Malik, pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu dan mengambil pendapat-pendapat dari murid- murid Imam Abu Hanifah, dengan cara bermunazarah dan berdebat dengan mereka. Imam Syafii dua tahun berada di Baghdad.
Kemudian, pendidikan Imam Syafii dilanjutkan ke Makkah dilanjutkan ke Yaman. Di Yaman, Imam Syafii berguru kepada Matrak bin Mazin, dilanjutkan ke Irak berguru kepada Muhammad bin Hasan.
Diantara guru-guru beliauada yang beraliran tradisional atau aliran hadits. Seperti Imam Malik dan adapula yang mengikuti paham Mu’tazilah dan Syiah. Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dari berbagai aliran fiqih tersebut membawanya ke dalam cakrawala berpikir yang luas. Dengan itulah Imam Syafi'i melangkah untuk mengajukan berbagai kritik dan kemudian mengambil jalan keluarnya sendiri (ijtihad).
Dalam salah satu riiwayat, Imam Syafi'i pernah berbeda pendapat dengan gurunya Imam Malik. Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga ia menulis buku Khilaf Malik yang sebagian besar berisi kritik terhadap pendapat (Fiqh) madzhab gurunya itu.
Imam Syafi'i juga terjun dalam perdebatan-perdebatan sengit dengan Madzhab Hanafi dan banyak mengeluarkan koreksi terhadapnya. Dari kritik- kritik Imam Syafi’i terhadap kedua madzhab tersebut akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa antara fiqh ahli hadits dan fiqhahli ra’yu yang benar-benar orisinil. Namun demikian yang paling menentukan orisinalitas Madzhab Syafi’i ini adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir.
3. Guru-Guru Imam Syafi’i
Al-Syafi’i menerima Fiqh dan Hadits dari banyak guru yang masing- masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang mu’tazili yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya.
Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Al- Syafi’i menerimanya dari ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama Madinah,ulama-ulama Irak dan ulama-ulama Yaman.
- Ulama-ulama Mekkah yang menjadi gurunya adalah:
- Muslim ibn Khalid az-Zinji
- Sufyan ibn Uyainah
- Said ibn al-Kudah
- Daud ibn Abdurrahman
- Al-Attarf. Abdul Hamid ibn Abdul Aziz ibn Abi Daud.
Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah:
- Malik ibn Anas
- Ibrahim ibn Saad al-Ansari
- Abdul Azis ibn Muhammad al-Darawardi
- Ibrahim ibn Yahya al-Asami
- Muhammad Said ibn Abi Fudaikf
- Abdullah ibn Nafi al-Shani.
Ulama-ulama Irak yang menjadi gurunya adalah:
- Waki ibn Jarrah
- Abu Usamah
- Hammad ibn Usamah
- Ismail ibn Ulaiyah
- Abdul Wahab ibn Ulaiyah
- Muhammad ibn Hasan.
Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya adalah:
- Muththarif ibn Mizan
- Hisyam ibn Yusuf
- Hakim Shan’a (Ibu Kota Republik Yaman)
- Umar ibn Abi Maslamah al-Auza’i
- Yahya Hasan.
4. Murid-Murid Imam Syafi’i
Di antara murid-muridnya yang kemudian jadi ulama kesohor dan alim adalah:
- Abu Bakar al-Humaidi
- Ibrahim ibn Muhammad al-Abbas
- Abu Bakar Muhammad ibn Idris
- Musa ibn Abi al-Jarud.
- Murid-muridnya yang keluaran Baghdad, yaitu:
- Al-Hasan al-Sabah al-Za’farani
- Al-Husain ibn Ali al-Karabisi
- Abu Thur al-Kulbi
- Ahmad ibn Muhammad al-Asy’ari.
- Imam Ahmad ibn Hanbal,
- Al-Rabi’in ibn Sulaiman al-Muradi, dan masih banyak lagi.
Murid Imam Syafi’i dari kalangan perempuan tercatat antara lain saudara perempuan al-Muzani.
Di kemudian hari, mereka dikenal adalah para cendekiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah besar bukunya baik dalam fiqih maupun lainnya.
Di antara para muridnya yang termasyhur adalah Ahmad ibn Hambal yang mana beliau telah memberi jawaban kepada pertanyaan tentang Imam Syafi’i.
5. Pemikiran dan Karya Imam Syafi’i
Dengan perpaduan pemikiran akibat pengaruh dari corak pendidikan dan pengalamannya dari berbagai negara, Imam Syafi’imengkompromikan, mengkombinasi, serta mendiskusikan fiqih negara Hijaz yang menjadikan beliau terkenal dengan ahli ra’yu (ahli pikiran/pemikiran/logika).
Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahli hadits) dalam mengambil al-Qur’an sebagai dasar pertama hukum Islam, karena menurutnya as-Sunnah berfungsi menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an. Maka ia menjadikan as-Sunnah sebagai dasar hukum kedua.
Di lain pihak, Imam Syafi’i sepakat dengan Madzhab Hanafi (ahli ra’yu) dalam kecenderungan memakai ijtihad atau rasio, namun Imam Syafi’imemberikan suatu batasan bahan dasar ijtihad atau ra’yu tersebut berbentuk qiyas (analogi).
Dalam pemakaian qiyas ini Imam Syafi’i memberikan ketentuan-ketentuannya, sependapat dengan golongan Maliki dalam mengambil ijma’ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat sebagai ijma’ bukan semata-mata hasil pemikiran, hasil pemikiran tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti.
Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Muzani, salah seorang murid Imam Syafi'i mengungkapkan, bahwa Imam Syafi’i telah mengarang sebanyak 113 kitab mengenai ilmu Ushul al-Fiqh, dan lain-lain. Di Indonesia, beberapa kitab yang yang populer di antaranya:
a. Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh yang didalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan suatu hukum.
b. Al-Umm
Kitab induk ini berisikan hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i yang telah dikondisikan dalam bentuk juz dan jilid yang membahas masalah taharah, ibadah, amaliyah, sampai pada masalah peradilan seperti jinayah, muamalat, munakahat dan lain-lain.
c. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkap perbedaanpara ulama dalam persepsinya tentang hadits mulai dari Sanad sampai Perawi yang dapat dipegangi, termasuk analisisnya tentang hadits yang menurutnya dapat dipegangi sebagai hujjah.
d. Musnad
Di dalam musnad isinya hampir sama dengan yang ada di dalam kitabikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga menggunakan persoalan mengenai hadits hanya dalam hal ini terdapat kisah bahwa hadits yang disebut dalam kitab ini adalah hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i, khususnya yang berkaitan dengan fiqh dalam kitab al-Umm, di mana dari segi sanadnya telah dijelaskan secara jelas dan rinci.
6. Fiqih Imam Syafi’i dan Wafatnya
Ilmu fiqih yang dibawa oleh Imam Syafi’i suatu zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam. Oleh karena itu, beliau mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan pikir dengan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan hadits.
Ilmu fiqih Imam Syafi’i merupakan ikatan sunnah dengan qiyas dan pemikiran dengan beberapa cara- cara atau peraturan untuk memahami al-Qur’an dan Hadits. Juga beliau menerapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulannya, oleh karena itulah beliau berhak dianggap sebagai penulis ayau pencipta ilmu Ushul Fiqih.
Madzhab Syafi’i mulai berkembag di Mesir, yang terkenal dengan qaul jadidnya, yang diajarkan beliau di Masjid ‘Amr ibn Ash. Perkembangan ini semakin bertambah sejak banyaknya para ulama dan para cendekiawan yang mengikuti pelajarannya.
Oleh karena itu, terdesaklah madzhab yang telah dianut sebelumnya,yaitu mazhab Hanafi dan mazhab Maliki. Walaupun pada tahun 197 H beliau telah mengajarkan qaul qadimnya di Baghdad, namun perkembangan madzhab Syafi’i barulah setelah beliau meninggal dunia yang dikembangkan oleh Hasan ibn Muhammad al-Za’farani (wafat 260 H.).
Imam Syafi’i dengan tenang mengembuskan napas terakhirnya sesudah sholat Isya’, malam Jum’at bulan Rajab tahun 204 H./819, dengan disaksikan muridnya Rabi al-Jizi.
Sumber Referensi
- Fathul Mu'in, Syekh Zainuddin al-Malibari
- repository.uin-suska.ac.id
- Buku Biografi Empat Imam Mdzhab, Syaikh Abdul Aziz asy-Syihawi
- Buku Biografi 60 Ulama Ahlussunah, Syaikh Ahmad Farid
- kemenag.go.id
- jeulingke-gp.bandaacehkota.go.id