Liputan6.com, Jakarta Bahasa Arab memiliki sistem tanda baca yang sangat khas dan berbeda dari bahasa lain. Dalam pembacaan Al-Qur’an maupun teks Arab klasik, tanda baca atau harakat berperan penting untuk memastikan ketepatan pengucapan. Tanpa adanya harakat, termasuk tanda sukun, seseorang bisa keliru membaca dan bahkan salah memahami arti dari suatu kata.
Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama menaruh perhatian besar pada kaidah bacaan Al-Qur’an agar terjaga keaslian dan kefasihannya. Di sinilah peran tanda baca, termasuk sukun, menjadi sangat vital. Sukun yang tampak sederhana sesungguhnya menyimpan sejarah panjang, dari masa awal kodifikasi mushaf hingga pembakuan sistem harakat oleh ulama besar.
Liputan6.com akan mengulas secara khusus mengenai tanda sukun, pengertian, sejarah, asal-usul, hingga penggunaannya dalam ilmu tajwid. Dengan memahami sukun, kita dapat lebih menghargai warisan intelektual para ulama yang menjaga kemurnian bacaan Al-Qur’an dari generasi ke generasi, Senin (7/9/2025).
Apa Itu Tanda Sukun?
Dalam ilmu tajwid, sukun ( ْ ) adalah salah satu tanda baca (harakat) dalam bahasa Arab yang menandakan bahwa huruf tersebut tidak memiliki vokal. Artinya, huruf yang diberi tanda sukun harus dibaca mati atau tidak diikuti bunyi vokal setelahnya. Contoh sederhana adalah pada kata يَكْتُبْ (yaktub), huruf ب di akhir diberi sukun sehingga dibaca mati.
Menurut penjelasan Universitas Islam An Nur Lampung, sukun berfungsi untuk memberi jeda atau menghentikan suara pada suatu huruf, sehingga bacaan menjadi lebih jelas dan teratur. Fungsi ini sangat penting dalam membaca Al-Qur’an, karena setiap kesalahan dalam panjang-pendek bacaan bisa mengubah makna.
Sukun sering dipasangkan dengan berbagai hukum bacaan dalam tajwid, seperti idgham, ikhfa, iqlab, dan idzhar. Dengan kata lain, tanda sukun menjadi penentu utama dalam membedakan hukum bacaan dan cara pengucapannya.
Sejarah Munculnya Harakat dan Sukun
Peran Abu al-Aswad al-Du’aly
Sejarah penulisan tanda baca dalam mushaf Al-Qur’an berawal dari kekhawatiran akan kesalahan bacaan. Pada masa sahabat dan tabi’in, bahasa Arab mulai bercampur dengan pengaruh bahasa asing akibat ekspansi Islam. Ziyad bin Abi Sufyan meminta Abu al-Aswad al-Du’aly (w. 69 H) untuk mencari solusi agar Al-Qur’an tetap terbaca dengan benar.
Abu al-Aswad lalu memperkenalkan sistem titik berwarna sebagai tanda baca: titik di atas huruf untuk fathah, titik di bawah huruf untuk kasrah, dan titik di depan huruf untuk dammah (Al-Qathan, 2000: 143; Al-Farmawy, 2004: 291). Meskipun belum ada tanda sukun, langkah ini menjadi cikal bakal sistem harakat.
Inovasi Khalil bin Ahmad al-Farahidy
Perkembangan besar terjadi pada masa Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 100 H/789 M). Beliau mengganti sistem titik dengan simbol yang lebih jelas: fathah berupa garis miring, kasrah berupa garis di bawah huruf, dammah berupa huruf wau kecil, dan menciptakan tanda baru termasuk tasydid, sukun, dan hamzah.
Menurut Al-Farmawy (2004: 318–320), sukun dilambangkan dengan kepala huruf kha (خ) yang berarti khafif (ringan), karena huruf yang mati lebih ringan daripada huruf berharakat. Ada juga pendapat yang menyebut sukun berasal dari kepala huruf ha (ح) atau jim (ج) yang diambil dari kata jazm. Semua pendapat ini menunjukkan adanya perdebatan ulama dalam menentukan asal-usul bentuk sukun.
Variasi Penggunaan Sukun
Dalam penerapannya, para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian mushaf hanya menuliskan sukun pada bacaan idzhar saja, sementara sebagian lainnya menuliskannya pada semua huruf mati, termasuk dalam hukum bacaan mad. Di Indonesia, mushaf cetakan modern biasanya menuliskan semua tanda sukun secara konsisten, sehingga lebih mudah dipelajari oleh pembaca pemula.
Pentingnya Memahami Tanda Sukun
Sukun memiliki posisi penting dalam menjaga ketepatan bacaan. Tanpa sukun, pembaca bisa salah dalam menerapkan hukum tajwid. Misalnya:
- Pada kata قُلْ (qul) dalam Al-Qur’an, huruf lam diberi sukun sehingga dibaca mati. Jika tidak ada tanda sukun, huruf ini bisa salah dibaca dengan vokal tambahan.
- Dalam hukum idgham (melebur), sukun menjadi kunci pembeda apakah huruf dimasukkan ke huruf berikutnya atau dibaca jelas.
Selain itu, dari sisi kebahasaan, sukun juga berfungsi dalam ilmu nahwu untuk menandai bentuk jazm (kata kerja dalam kondisi tertentu). Dengan demikian, sukun bukan hanya penting dalam tajwid, tetapi juga dalam tata bahasa Arab secara keseluruhan.
FAQ Seputar Harakat Arab
1. Apa itu harakat dalam bahasa Arab?
Harakat adalah tanda baca yang digunakan dalam tulisan Arab untuk menunjukkan cara pengucapan huruf. Contohnya: fathah (a), kasrah (i), dammah (u), sukun (mati), tasydid (penekanan), dan tanwin.
2. Apa perbedaan antara sukun dan tasydid?
Sukun menandakan huruf mati atau tanpa vokal, sedangkan tasydid menunjukkan penggandaan atau penekanan bacaan pada huruf tertentu.
3. Mengapa harakat penting dalam membaca Al-Qur’an?
Harakat mencegah kesalahan bacaan yang dapat mengubah arti ayat. Dengan adanya harakat, pembaca non-Arab tetap bisa membaca Al-Qur’an dengan benar.
4. Apakah mushaf pertama kali ditulis dengan harakat?
Tidak. Mushaf pada masa Utsman bin Affan ditulis tanpa harakat dan titik huruf. Harakat baru ditambahkan pada masa berikutnya oleh ulama seperti Abu al-Aswad al-Du’aly dan Khalil bin Ahmad al-Farahidy.
5. Apakah bentuk sukun sama di semua mushaf?
Tidak selalu. Beberapa mushaf kuno memiliki bentuk sukun yang berbeda, misalnya menyerupai kepala huruf kha atau ha. Namun mushaf modern umumnya menggunakan bentuk lingkaran kecil ( ْ ).