Liputan6.com, Jakarta - Konsep karma seringkali dikaitkan dengan siklus sebab-akibat dalam berbagai kepercayaan. Namun, bagaimana pandangan Islam mengenai karma dalam Islam?
Islam memiliki konsep balasan perbuatan yang mendalam, meskipun tidak menggunakan istilah "karma" secara harfiah. Setiap tindakan, baik atau buruk, akan mendapatkan konsekuensinya.
Menurut Al-Muasu’ah Al-Muyassarah, karma dalam ajaran Hindu diartikan sebagai "hukum balasan" yang berdasarkan keadilan murni. Istilah karma sendiri secara harfiah berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti perbuatan.
Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya melansir dari berbagai sumber, Rabu (3/8/2025).
Karma dalam Islam
Dalam Islam, konsep "karma" sebagaimana dipahami dalam agama Hindu atau Buddha tidak dikenal secara harfiah. Islam tidak mengenal adanya reinkarnasi atau siklus kelahiran kembali untuk menerima balasan dari perbuatan di kehidupan sebelumnya.
Ipnu R. Noegroho dalam bukunya Jangan Marah Lupakan, Maafkan, Ikhlaskan menuliskan bahwa tidak ada karma dalam Islam, melainkan ketentuan dan takdir Allah. Bukti bahwa Islam tidak mengenal hukum karma termaktub dalam firman Allah, yaitu Al-Qur'an surat Al Fathir ayat 18, yang menyatakan bahwa orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Alih-alih hukum karma, dalam Islam lebih dikenal dengan konsep hukum dzarroh, sebagaimana disebutkan dalam buku Rahasia Magnet Rezeki yang ditulis oleh Nasrullah. Istilah dzarroh berarti biji sawi, atau dapat diartikan sebagai ukuran terkecil yang bisa dihitung oleh manusia.
Hukum dzarroh ini mengindikasikan bahwa setiap perbuatan, baik maupun buruk, sekecil biji dzarroh sekalipun, tetap akan mendapatkan balasan.
Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an surat Al Zalzalah ayat 7-8. Ajaran tentang hukum dzarroh ini juga disebutkan dalam surat Lukman ayat ke-16, di mana Lukman mengajarkan kepada anaknya bahwa sekecil apapun perbuatan, Allah akan mengetahuinya dan memberinya balasan.
Balasan Perbuatan di Dunia dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, balasan perbuatan di dunia dapat berupa musibah atau kenikmatan, yang berfungsi sebagai ujian, peringatan, atau bahkan penghapus dosa. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa jika Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bernyawa di bumi ini.
Musibah yang menimpa manusia, seperti sakit atau bencana, seringkali merupakan akibat dari perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia itu sendiri.
Hal ini berfungsi sebagai kafarat (penghapus) dosa atau hukuman atas dosa-dosa tersebut, meskipun banyak dosa yang dimaafkan oleh Allah. Namun, tidak semua musibah bertujuan sebagai kafarat dosa; ada pula yang bertujuan mengangkat derajat seseorang di sisi Allah, seperti yang terjadi pada para Nabi dan Rasul.
Kerusakan di darat dan laut yang disebabkan oleh tangan manusia, seperti kesyirikan atau kejahatan, juga merupakan bentuk balasan di dunia. Fenomena ini berfungsi sebagai peringatan agar manusia insaf, bertaubat, dan kembali kepada Allah. Bagi orang mukmin, balasan dosa-dosa di dunia ini bertujuan sebagai kafarat yang meringankan atau menghapus hukuman di akhirat.
Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi juga menjelaskan bahwa musibah yang menimpa manusia adalah hukuman dan kafarat atas perbuatan buruk dan dosa, meskipun tidak semua dosa dibalas di dunia.
Beliau memberikan contoh seperti pecandu arak yang menderita penyakit atau pedagang tidak amanah yang merugi. Namun, hukuman individu ini tidak mutlak; jika Allah berkehendak, hukuman bisa ditangguhkan ke akhirat, atau dimaafkan jika individu bertaubat.
Balasan Perbuatan di Akhirat dalam Pandangan Islam
Balasan perbuatan di akhirat adalah kepastian dalam Islam, di mana setiap amal, sekecil apapun, akan diperhitungkan. Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa kebaikan apapun, khususnya infak dan sedekah, akan membawa pahala yang berlipat-lipat di akhirat.
Namun, hal ini berlaku jika perbuatan tersebut dilakukan tanpa mengungkit, pamer, atau riya', karena jika tujuannya duniawi, sedekah tersebut tidak lagi menjadi nafkah melainkan usaha mencari keuntungan duniawi.
Al-Qur'an surat Az-Zalzalah ayat 7-8 secara eksplisit menyatakan bahwa barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.
Al-Zuhaili menafsirkan bahwa ayat ini senada dengan QS Al-Anbiya' ayat 47 dan QS Al-Kahfi ayat 49, yang menegaskan bahwa timbangan yang tepat akan dipasang pada hari Kiamat dan tidak seorang pun akan dirugikan. Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi juga menjelaskan bahwa barangsiapa mengerjakan kebaikan sekecil apapun, pasti akan mendapatkan balasan atasnya, dan barangsiapa mengerjakan keburukan, meskipun sedikit, niscaya dia akan menemui balasannya pula.
Tidak ada perbedaan antara orang mukmin dan orang kafir dalam hal balasan perbuatan masing-masing. Kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat, bahkan bisa mencapai 700 kali lipat atau lebih, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah ayat 261 dan 245. Adapun perbuatan buruk akan dibalas setimpal atau semisal dengan keburukan yang dilakukan.
Tujuan Balasan Perbuatan dalam Islam
Tujuan utama balasan perbuatan dalam Islam, baik di dunia maupun di akhirat, adalah untuk menegakkan keadilan ilahi dan memberikan kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri.
Dalam Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat 41, Allah menjelaskan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi karena perbuatan tangan manusia, dan Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Ini menunjukkan bahwa balasan di dunia berfungsi sebagai peringatan dan sarana introspeksi. Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa penangguhan hukuman oleh Allah memberikan kesempatan bagi manusia untuk bertaubat dan memperbaiki kesalahan. Ini adalah bentuk rahmat dan belas kasih Allah yang sangat besar kepada hamba-Nya.
Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi juga menekankan bahwa musibah yang menimpa manusia adalah karena perbuatan buruk mereka sendiri. Tujuannya adalah agar manusia kembali kepada Allah setelah disadarkan oleh musibah tersebut. Sejarah kaum-kaum terdahulu yang dibinasakan menjadi cerminan agar umat masa kini tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Adapun tujuan balasan di akhirat adalah penentuan nasib abadi seseorang, apakah kebahagiaan di surga atau kesengsaraan di neraka, sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Ini adalah puncak dari keadilan Allah, di mana setiap jiwa akan menerima balasan yang setimpal tanpa dizalimi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Balasan Perbuatan
Beberapa faktor utama mempengaruhi bagaimana balasan perbuatan diberikan dalam Islam. Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan perbedaan besar dalam balasan antara orang mukmin dan orang kafir. Bagi orang mukmin, musibah di dunia bisa menjadi penghapus dosa atau peningkatan derajat.
Kebaikan mereka banyak disimpan untuk akhirat, sementara keburukan mereka dibalas di dunia sebagai kafarat. Sebaliknya, bagi orang kafir, semua amal baik mereka dibalas di dunia (berupa kemakmuran, kesehatan, dll.), sedangkan keburukan dan kekafiran mereka ditabung untuk dibalas di akhirat. Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menekankan bahwa balasan perbuatan sangat berkaitan dengan niat seseorang dalam melakukannya.
Perbuatan baik yang disertai niat baik akan memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda.Semakin ikhlas niatnya, semakin besar pula pahala dan balasan yang diterima. Kebaikan akan dilipatgandakan balasannya, sementara keburukan dibalas setimpal, ini adalah karunia Allah. Hadits Qudsi menyebutkan bahwa kebaikan adalah sepuluh atau lebih, sedangkan kejelekan adalah satu atau dimaafkan.
Al-Zuhaili menjelaskan bahwa al-hasanah (kebaikan) bukan hanya kebaikan secara umum, tetapi amal saleh yang dibarengi dengan iman, seperti mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Adapun as-sayyiah (keburukan) mencakup syirik, kemaksiatan, dan kekafiran. Ini ditegaskan dalam QS An-Naml ayat 89-90.
Perbandingan Konsep Balasan dalam Tafsir Ulama
Konsep balasan perbuatan dalam Islam memiliki persamaan dan perbedaan dalam penafsiran para ulama, khususnya antara Wahbah al-Zuhaili dan Ahmad Mustafa al-Maraghi. Keduanya sepakat bahwa balasan atas perbuatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana diuraikan dalam skripsi Balasan Perbuatan dalam Al-Qur'an Perspektif Tafsir Al-Munir dan Al-Maraghi (Studi Komparasi Penafsiran) oleh Husnul Hatimah.
Secara garis besar, kedua mufassir menafsirkan QS Fatir ayat 45 dengan sama, yaitu bahwa kebanyakan balasan atas perbuatan buruk manusia ditangguhkan sampai hari Kiamat. Jika tidak, niscaya semua makhluk di bumi akan binasa.
Namun, al-Zuhaili menambahkan bahwa Allah banyak memaafkan kesalahan manusia sehingga balasan buruk di dunia ditangguhkan atau dikurangi. Al-Maraghi menambahkan doa untuk akhir yang baik dan permohonan amal perbuatan baik kepada Allah, mengindikasikan bahwa doa dan ibadah bisa menjadi kafarat dosa.
Terkait QS Asy-Syura ayat 30, keduanya sepakat bahwa hukuman dan balasan atas perbuatan buruk di dunia memang ada sebagai kafarat dosa, meskipun tidak semua dosa dibalas karena Allah Maha Pemaaf. Al-Zuhaili menambahkan bahwa tidak semua musibah adalah kafarat dosa; ada pula yang bertujuan mengangkat derajat seseorang, dan kafarat dosa di dunia khusus untuk orang mukmin, bukan kafir. Al-Maraghi membagi kafarat dosa menjadi balasan individu yang tidak pasti dan balasan massal yang pasti terjadi dalam Sunnatullah.
Mengenai QS Ar-Rum ayat 41, keduanya sepakat bahwa kerusakan di alam adalah akibat ulah tangan manusia sendiri, bertujuan agar manusia introspeksi. Al-Zuhaili lebih rinci dalam menjelaskan bahwa musibah bagi mukmin adalah kafarat dosa di dunia, sementara kebaikan mukmin ditabung untuk akhirat.
Sebaliknya, kebaikan kafir dibalas di dunia, dan kesalahannya ditabung untuk akhirat. Al-Maraghi menekankan niat sebagai faktor penentu utama, di mana niat baik melipatgandakan balasan, sedangkan niat buruk membawa balasan setimpal.
Sumber Referensi
- Al-Muasu’ah Al-Muyassarah
- Ismail, Nawari. Perubahan Sosial-Budaya Komunitas.
- Noegroho, Ipnu R. Jangan Marah Lupakan, Maafkan, Ikhlaskan.
- Nasrullah. Rahasia Magnet Rezeki.
- al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir.
- al-Maraghi, Ahmad bin Mustafa. Tafsir Al-Maraghi.
- Hatimah, Husnul. Balasan Perbuatan dalam Al-Qur'an Perspektif Tafsir Al-Munir dan Al-Maraghi (Studi Komparasi Penafsiran). Skripsi, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Desember 2022.
FAQ
Apakah Islam mengenal istilah karma?
Tidak, Islam tidak mengenal istilah karma, melainkan balasan perbuatan sesuai ketentuan Allah.
Apakah dalam Islam ada reinkarnasi untuk menerima balasan?
Tidak, Islam menolak konsep reinkarnasi; setiap amal dibalas di dunia atau akhirat.
Apa istilah yang sepadan dengan karma dalam Islam?
Islam mengenal konsep hukum dzarroh, yaitu setiap amal sekecil biji sawi akan dibalas.
Apakah semua dosa langsung dibalas di dunia?
Tidak, sebagian dosa dibalas di dunia sebagai peringatan atau kafarat, sebagian ditangguhkan ke akhirat.
Apakah kebaikan dan keburukan pasti mendapat balasan?
Ya, sesuai QS Az-Zalzalah ayat 7–8, sekecil apapun amal akan diperhitungkan.
Apakah musibah selalu tanda hukuman dari Allah?
Tidak selalu, bisa jadi sebagai kafarat dosa, ujian, atau pengangkat derajat.
Apa tujuan utama balasan perbuatan dalam Islam?
Untuk menegakkan keadilan Allah dan memberi kesempatan manusia memperbaiki diri.