Liputan6.com, Jakarta Perbedaan mahram dan muhrim penting untuk diketahui setiap Muslim. Dalam kehidupan beragama, umat Islam sering kali menemukan istilah-istilah yang terdengar mirip namun memiliki makna berbeda. Salah satu contohnya adalah perbedaan mahram dan muhrim yang kerap menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Pelafalannya yang hampir serupa membuat sebagian umat Islam menganggap kedua istilah ini memiliki arti yang sama. Padahal, mahram berkaitan dengan hukum pernikahan, sedangkan muhrim terkait dengan pelaksanaan ibadah haji dan umrah.
Melansir dari buku Haram tapi Bukan Mahram oleh Hanif Luthfi, Lc., kedua istilah ini memiliki konteks dan aplikasi yang berbeda dalam ajaran Islam. Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya melansir dari berbagai sumber, Kamis (4/9/2025).
Perbedaan Mahram dan Muhrim: Definisi dan Pengertian
Perbedaan mahram dan muhrim dapat dipahami dari aspek etimologi dan penggunaannya dalam konteks syariat Islam. Kedua istilah ini memiliki akar kata dan makna yang berbeda meskipun sering tertukar dalam penggunaan sehari-hari.
Pengertian Muhrim
Muhrim berasal dari kata ahrama yuhrimu-ihraman yang artinya mengerjakan ibadah ihram. Istilah ini merujuk pada seseorang yang sedang dalam keadaan ihram, baik saat melaksanakan ibadah haji maupun umrah. Ketika jamaah telah memasuki daerah miqat dan mengenakan pakaian ihram serta menghindari larangan-larangan ihram, maka orang tersebut disebut muhrim.
Pengertian Mahram
Mahram diambil dari kata yang memiliki makna serupa dengan haram, lawan dari halal. Dalam konteks fiqih pernikahan, mahram adalah wanita yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau sebab tertentu. Mengutip dari Kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadhdhab karya Imam Nawawi, mahram adalah perempuan yang haram dinikahi karena sebab yang mubah dan statusnya yang haram secara syariat.
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada konteks penggunaan: muhrim bersifat temporer dan berkaitan dengan ibadah, sedangkan mahram bersifat permanen dan berkaitan dengan hubungan kekerabatan serta hukum pernikahan.
Batasan dan Aturan Mahram dalam Islam
Konsep mahram dalam Islam memiliki batasan yang jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Allah SWT telah menjelaskan batasan-batasan mahram dalam Surat An-Nisa ayat 23, yang menjadi dasar hukum tentang siapa saja yang termasuk mahram bagi seorang laki-laki Muslim.
Para ulama ahli fiqh membagi mahram menjadi dua kategori utama berdasarkan sifat keharamannya. Pembagian ini penting untuk memahami dengan tepat siapa saja yang termasuk dalam kategori mahram dan aturan-aturan yang berlaku.
1. Mahram Muabbad (Haram Selamanya)
Mahram muabbad adalah orang yang haram dinikahi selamanya tanpa ada kemungkinan menjadi halal di kemudian hari. Melansir dari buku Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam tulisan Ali Manshur, kategori ini terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan sebab keharamannya.
2. Mahram Ghairu Muabbad (Haram Sementara)
Kategori ini mencakup orang-orang yang haram dinikahi untuk sementara waktu karena ada sebab yang menghalanginya. Keharaman ini bisa hilang jika sebab penghalangnya sudah tidak ada lagi.
Klasifikasi Mahram Berdasarkan Sebab Keharaman
Mahram muabbad atau yang haram dinikahi selamanya dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga sebab utama yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Klasifikasi ini membantu umat Muslim memahami dengan jelas siapa saja yang termasuk mahram dan tidak boleh dinikahi.
Mahram Karena Hubungan Kekerabatan (Nasab)
- Ibu kandung, termasuk nenek, buyut dan nasab ke atas dari jalur ibu maupun ayah
- Anak kandung perempuan, termasuk cucu, cicit, dan nasab ke bawahnya
- Saudara perempuan, baik sekandung, seibu, maupun seayah
- Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
- Keponakan perempuan (anak dari saudara laki-laki atau perempuan)
Mahram Karena Hubungan Pernikahan
- Ibu mertua dan nasab ke atasnya
- Anak tiri dari istri yang telah digaulinya
- Menantu perempuan dan nasab ke bawahnya
- Ibu tiri dan wanita yang pernah dinikahi ayah
Mahram Karena Hubungan Persusuan
- Ibu susuan dan nasab ke atasnya
- Anak perempuan susuan dan nasab ke bawahnya
- Saudara perempuan sesusuan
- Bibi dari bapak atau ibu susuan
- Ibu mertua susuan dan nasab ke atasnya
Kategori Mahram Ghairu Muabbad (Haram Sementara)
Selain mahram yang haram selamanya, Islam juga mengenal kategori mahram ghairu muabbad atau yang haram sementara. Kategori ini mencakup wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi dalam kondisi tertentu, namun keharamannya bisa hilang jika kondisi tersebut berubah.
1. Istri yang Ditalak Tiga
Wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya tidak boleh dinikahi kembali oleh mantan suaminya, kecuali setelah menikah dengan lelaki lain dan bercerai darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 230 yang menegaskan aturan tentang talak tiga.
2. Wanita yang Masih Bersuami
Haram hukumnya menikahi wanita yang masih memiliki ikatan pernikahan, sedang dalam masa iddah, atau sedang hamil. Keharaman ini berlaku sampai ikatan dengan suami sebelumnya putus sepenuhnya secara syar'i.
3. Memadu Dua Wanita Bersaudara
Seorang laki-laki dilarang menikahi dua wanita yang bersaudara dalam waktu bersamaan. Namun, jika salah satu istrinya telah bercerai atau meninggal dunia, ia boleh menikahi saudara dari bekas istrinya tersebut.
4. Memadu Bibi dari Istri
Berdasarkan hadits riwayat Bukhari, dilarang menikahi bibi dari istri, baik dari jalur ayah maupun ibu, selama masih dalam ikatan pernikahan dengan keponakannya.
Perbedaan Konteks Penggunaan Mahram dan Muhrim
Memahami perbedaan mahram dan muhrim tidak hanya dari segi definisi, tetapi juga dari konteks penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari sangat penting untuk menghindari kesalahan komunikasi. Kedua istilah ini memiliki ranah aplikasi yang berbeda dalam ajaran Islam.
- Istilah Mahram
Istilah mahram digunakan dalam konteks hubungan sosial dan hukum pernikahan. Seorang wanita boleh bepergian jauh dengan mahramnya, boleh berduaan (khalwat), dan tidak perlu mengenakan hijab di hadapan mahramnya. Aturan ini berlaku karena mahram adalah orang yang haram dinikahi, sehingga interaksi dengan mereka dianggap aman dari fitnah.
- Istilah Muhrim
Sebaliknya, istilah muhrim hanya digunakan dalam konteks pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Ketika seseorang menjadi muhrim, ia harus mematuhi berbagai larangan ihram seperti tidak mencukur rambut, tidak memotong kuku, tidak memakai wewangian, dan berbagai pantangan lainnya. Status muhrim bersifat temporer dan berakhir ketika seseorang melakukan tahallul.
Mengutip dari Ensiklopedia Fiqh Islam terbitan Departemen Agama RI, kesalahan penggunaan kedua istilah ini sering terjadi dalam percakapan sehari-hari. Padahal konteks dan maknanya sangat berbeda. Pemahaman yang tepat tentang perbedaan mahram dan muhrim akan membantu umat Muslim berkomunikasi dengan lebih akurat sesuai kaidah bahasa Arab dan terminologi fiqh Islam.
Kesalahan Umum dalam Penggunaan Istilah Mahram dan Muhrim
Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak dijumpai kesalahan penggunaan istilah mahram dan muhrim yang dapat menimbulkan miskomunikasi dan kesalahpahaman. Kesalahan ini umumnya terjadi karena kurangnya pemahaman tentang konteks dan makna yang tepat dari kedua istilah tersebut.
Kesalahan paling umum adalah penggunaan kata "muhrim" dalam konteks hubungan kekerabatan dan pernikahan. Contohnya, kalimat "Jangan dekat-dekat, bukan muhrim" yang seharusnya menggunakan kata "mahram". Kesalahan ini terjadi karena kedua kata tersebut memiliki pelafalan yang mirip, namun makna dan konteksnya sangat berbeda.
Kesalahan lain yang sering terjadi adalah menganggap semua orang yang boleh diajak bepergian sebagai muhrim. Padahal, dalam konteks perjalanan haji atau umrah, muhrim adalah status seseorang yang sedang dalam keadaan ihram, bukan berkaitan dengan hubungan kekerabatan. Seorang wanita yang bepergian untuk haji harus didampingi mahram (dalam konteks kekerabatan), dan ketika sudah berihram, keduanya sama-sama menjadi muhrim.
Mengutip dari penelitian Islamic Terminology Studies yang dipublikasikan dalam International Journal of Islamic Studies, penggunaan terminologi yang tepat dalam konteks keagamaan sangat penting untuk menjaga kemurnian ajaran dan menghindari interpretasi yang salah. Edukasi yang berkelanjutan tentang perbedaan mahram dan muhrim menjadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan literasi keagamaan masyarakat.
FAQ
1. Apa perbedaan utama antara mahram dan muhrim? Mahram berkaitan dengan hukum pernikahan dan kekerabatan, sedangkan muhrim berkaitan dengan status seseorang yang sedang berihram dalam ibadah haji atau umrah.
2. Siapa saja yang termasuk mahram bagi seorang laki-laki? Mahram meliputi ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi, keponakan, ibu mertua, anak tiri, menantu, dan kerabat perempuan melalui hubungan susuan.
3. Kapan seseorang disebut muhrim? Seseorang disebut muhrim ketika telah berihram untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah dan menjalankan semua ketentuan ihram.
4. Bolehkah wanita bepergian jauh dengan muhrim? Tidak, wanita bepergian jauh harus dengan mahram (dalam konteks kekerabatan), bukan muhrim (status ihram).
5. Apakah mahram bersifat permanen? Sebagian besar mahram bersifat permanen (mahram muabbad), namun ada juga yang bersifat sementara (ghairu muabbad).
6. Apa saja larangan bagi seseorang yang menjadi muhrim? Muhrim dilarang mencukur rambut, memotong kuku, memakai wewangian, berburu, dan melakukan hubungan suami istri.
7. Bagaimana cara menghindari kesalahan penggunaan istilah mahram dan muhrim? Pahami konteks penggunaan: mahram untuk hubungan kekerabatan dan pernikahan, muhrim untuk status dalam ibadah haji/umrah.